,

Iklan

Iklan

Biar Remang Asal Jangan Padam

@SerikatNasional
26 Agu 2021, 18:03 WIB Last Updated 2021-08-26T15:14:35Z


Oleh: Siti Sakinahria Binti Dahlan


SerikatNasional.id | Betapa mahalnya ongkos pendidikan sebuah negara miskin, tetapi betapa omong kosongnya sistem sekolah itu untuk menghilangkan jurang kemiskinan tersebut. - Goenawan Muhamad.


Saya mengawali tulisan ini dengan sebuah ilustrasi dari Goenawan Soesatyo Mohamad, Budayawan Indonesia dan wartawan kawakan – pendiri sekaligus pemimpin redaksi majalah Tempo.


Dapat kita pahami dengan baik bahwa urgensi dari sebuah peradaban adalah sumber daya manusia yang handal dan kompeten. Hal ini dapat ditempuh melalui sebuah pendidikan yang berfungsi untuk meningkatkan mutu kehidupan manusia. Hal yang sejak lampau melekat sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia dan juga sebagai alat untuk mencapai tujuan negara. Pemerataan pendidikan tentu harus membuka peluang bagi seluruh elemen masyarakat dalam megenyam pendidikan yang merupakan wujud dari tujuan negara yakni, mencerdaskan kehidupan bangsa.


Tahun 2006, ketika itu, untuk pertama kalinya ayah saya yang merupakan seorang guru ditugaskan mengajar di pedalaman Pulau Adonara, tepatnya di dusun Arang, Desa Sagu, Kecamatan Adonara, Kabupaten Flores Timur, NTT. Lantaran jarak yang cukup jauh antara tempat asal saya, Witihama menuju Dusun Arang membuat kami sekeluarga, mau tak mau, terpaksa mengikuti ayah untuk pindah dan menetap di Dusun Arang. Di tempat inilah saya menyaksikan potret pendidikan beserta atributnya yang paling membekas dan terekam apik dalam ingatan sepanjang sejarah hidup saya. Hal yang menjadi titik mula saya menyadari betapa pentingnya sebuah sistem pendidikan bagi masyarakat.


Saat itu, belum banyak kendaraan yang melintasi jalan menuju dusun Arang. Akses jalan dari Sagu menuju dusun Arang sangatlah memilukan. Jauh dari sentuhan pembangunan. Badan jalan didominasi tanah liat dan bebatuan. Saat musim penghujan, jalan menjadi sangat licin dan terasa lengket akibat kandungan air yang sulit diserap tanah liat. Sehingga, kalapun harus menggunakan mobil atau sepeda motor, kami harus turun di Desa Sagu, lantas melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menempuh jarak sekitar 5 KM untuk mencapai dusun Arang, tempat ayah saya ditugaskan mengajar di SD Arang.


SD Arang masih berstatus filial dengan induk sekolah yang berada di SD Sagu yang diambil alih oleh swadaya pemerintah setempat. Hal ini dikarenakan jarak yang cukup yang ditempuh oleh siswa siswi dari dari Dusun Arang menuju sekolah di Desa Sagu.


Dalam segala keterbatasan itu, mimpi para orang untuk anaknya dalam mendapatkan akses pendidikan terwujud dengan didirikan sebuah bangunan sekolah darurat. Jauh dari kesan megah, bangunan sederhana dengan tiang dari batang pohon bakau, berdinding bambu, beratap daun kelapa dan beralas tanah itu terlihat lebih mirip sebuah pondok ketimbang sebuah gedung sekolah. Perabot meja dan kursi pun dibuat seadanya dari balok kayu. Saat musim hujan tiba kegiatan belajar mengajar sering terhambat. Kebocoran dimana-mana, air merembes diantara celah-celah dinding bambu, membasahi papan tulis dan seisi ruangan. Usai jam sekolah yang terpaksa dihentikan itu, terlihat pemandangan guru dan para murid berjalan dengan bertelanjang kaki sambil menenteng sepatu yang tak lagi dipakai lantaran kondisi tanah yang lengket.


Tak hanya itu, untuk urusan administrasi sekolah pun semuanya dilaksanakan secara manual, taka ada mesin ketik, apalagi komputer. Jika ada urusan ke sekolah induk, para guru terpaksa harus berjalan kaki menempuh jarak yang cukup jauh ke Desa Sagu.


Bayangkan betapa menyedihkan, bukan ? Saya berkesempatan mengenyam pendidikan di pondok darurat yang merupakan bangunan sekolah tersebut. Umurku ketika itu masih 8 tahun, meski sudah cukup lama, ingatanku tentang kondisi saat itu masih terekam jelas. Pemerintah setempat pernah memberikan bantuan tetapi bukan untuk merekonstruksi ulang semua bangunan sekolah tersebut. Bantuan tersebut berupa dua gedung baru. Satu dijadikan ruangan kantor dan satunya dijadikan ruangan kelas. Ruangan kelas baru tersebut pun kemudian disekat menjadi dua bilik untuk ruangan kelas lima dan kelas enam, sedangkan kelas satu hingga kelas empat masih menggunakan ruangan kelas darurat.


Setelah satu setengah tahun belajar bersama teman-tamanku di ruangan kelas darurat tersebut, saya kemudian pindah ke Witihama. Alhamdulilah, setelah pindah, saya mendengar kabar baik, sekolah saya yang dulu itu telah diresmikan menjadi sekolah berstatus definitif.


Indonesia pada tahun 2006 itu sudah berumur 61 tahun. Namun sangat disayangkan, potret pendidikan masih begitu miris terlihat. Padahal, era globalisasi semakin menuntut adanya perubahan yang terjadi pada tubuh pendidikan nasional agar menjadi lebih baik dan dapat bersaing di segala bidang. Pendidikan yang terhambat dapat membuat perencanaan pembangunan negara menjadi terhambat pula. Kualitas yang buruk dan keterhambatan pendidikan tentu berimbas pula pada kualitas sumber daya manusia.


Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Universitas Pamulang.


RECENT POSTS