,

Iklan

Iklan

Kasus Ekspor Ilegal 5,3 Juta Ton Bijih Nikel ke China Diduga Libatkan Istana

SerikatNasional
14 Apr 2024, 12:55 WIB Last Updated 2024-04-15T02:47:05Z

 


JAKARTA (Serikatnasional) ,- Anggota Komisi VI DPR RI Deddy Yevri Sitorus, buka suara terkait kasus dugaan ekspor ilegal 5,3 juta ton bijih nikel ke China yang statusnya telah dinaikkan menjadi tahap penyelidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 


Kasus yang terjadi sejak Januari 2020 hingga Juni 2022 itu dinilai terlalu alot dalam pengusutannya. Ia menduga ada becking yang teramat kuat sehingga kasus ini belum menemui titik terangnya. 


"Sangat logis bahwa persoalan ini berlangsung lama dan aman-aman saja karena melibatkan "orang-orang besar" sehingga tidak ada upaya penegakan hukum yang sistematis," kata Deddy dikutip dari Monitorindonesia.com, Sabtu (13/4/2024). 


Menurutnya ada kemungkinan aparat penegak hukum yang bermain dalam kasus ekspor ilegal tersebut. 


Bahkan kata dia, tak menutup kemungkinan adanya orang dalam istana yang juga ikut bermain sehingga kasus ini lama ditangani oleh KPK. 


"Apakah melibatkan orang-orang terkait istana atau bukan, saya tidak bisa berspekulasi. 


Biarlah nanti KPK yang telusuri, itupun kalau memang mereka mau," ujarnya. 


Lebih lanjut, Politikus PDI Perjuangan itu mengaku ragu jika kasus ini akan benar-benar terungkap seutuhnya. Sebab ada becking yang selalu melindungi kasus ini agar tak terungkap ke hadapan publik. 


"Saya ragu kalau masalah ini bisa terang benderang dan menyentuh para backing yang melindungi praktek kotor itu," pungkasnya. 


Diberitakan sebelumnya, Juru bicara KPK Ali Fikri, membenarkan bahwa kasus dugaan ekspor ilegal 5,3 juta ton bijih nikel ke China tersebut saat ini sudah dalam tahap penyelidikan.


"Materi penyelidikan terkait dengan ini (ekspor ilegal 5,3 juta ton bijih nikel ke China) tentu tidak bisa kami sampaikan," kata Ali kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (23/2) lalu.


Adapun nilai kerugian negara terhadap kasus ini ditaksir mencapai Rp575 miliar sejak Januari 2020 hingga Juni 2022. 


Sedangkan sumber bijih nikel yang diduga diekspor secara ilegal itu diduga berasal dari Sulawesi dan Maluku Utara (Malut).


Pengamat Ekonomi dari Universitas Atma Jaya Rosdiana Sijabat, menilai terjadinya ekspor ilegal itu lantaran adanya larangan pemerintah untuk menghentikan izin ekspor bijih nikel ke luar sejak per Januari 2020.


Menurutnya, kementerian BUMN dan ESDM semestinya dapat mengantisipasi adanya ekspor illegal pasca dihentikannya larangan ekspor berdasarkan Peraturan Menteri ESDM. 


"Kementerian BUMN dan kementerian ESDM (mestinya) dapat mengantisipasi terkait penghentian ekspor bahwa akan ada upaya untuk mendapatkan kepentingan-kepentingan ekonomi untuk tetap bisa mengekspor meskipun secara ilegal ke China,"Rosdiana menambahkan.


Rosdiana pun menilai,  salah satu lemahnya sektor pertambangan yang ada di Indonesia ada pada tata kelola yang amburadul. 


Ia mencontohkan, seperti kasus yang terjadi PT Timah Tbk, di mana angka kerugian lingkungan mencapai Rp 271.069.688.018.700 atau Rp 271 triliun yang tentunya sangat merugikan negara. 


"Salah satu kelemahan sektor mining kita sektor ekstraksi kita, itu memang di tata kelola. Kita lihat saja kasus yang baru terjadi dengan PT Timah juga begitu mudahnya dengan kerugian ekonomi yang merugikan rakyat Indonesia, merugikan negara dengan triliun rupiah itu tidak bisa diantisipasi dengan baik oleh dua Kementerian yang ada," ujarnya. 


Pemerintah semestinya dapat memperkuat sektor pertambangan di dua kementerian terkait agar dapat mendeteksi pihak-pihak yang coba merugikan negara dengan praktik ilegal. 


"Jadi saya kira harus lebih diperkuat lagi Kementerian BUMN kita, Kementerian ESDM kita untuk bisa mendeteksi besarnya pihak yang terkait itu tentu mereka yang bermain di dalam sektor itu," pungkasnya.  


 (D.Wahyudi)

RECENT POSTS