Iklan

https://www.serikatnasional.id/2024/10/blog-post.html

Iklan

,

Iklan

Perda Petani — DKPP dan DPRD Harus Berhenti Berdebat, Perlindungan Petani Tak Cukup Dirundingkan

SerikatNasional
14 Okt 2025, 09:39 WIB Last Updated 2025-10-14T03:38:43Z


Oleh: Rasyidi, Ketua Bidang Pengkajian Berita Asosiasi Wartawan Demokrasi Indonesia (AWDI) DPC Sumenep 


Opini, Serikatnasional.id | Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sumenep akhirnya memasukkan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani ke dalam daftar Program Pembentukan Peraturan Daerah (Propemperda) tahun ini. Regulasi tersebut diajukan bersamaan dengan 39 usulan perda lainnya, yang sebagian besar menyangkut sektor administratif, pelayanan publik, dan tata ruang.


Langkah itu sepintas terlihat menggembirakan. Namun, muncul pertanyaan mendasar: apakah Perda Perlindungan Petani ini benar-benar lahir dari kesadaran politik yang tulus, atau sekadar respons atas tekanan publik yang semakin keras?


Bila kita melihat perjalanan isu ini, Ranperda tersebut sudah lama muncul dalam wacana publik. Sejak Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 mengamanatkan setiap daerah menyusun regulasi serupa, Sumenep seolah berjalan lambat. Padahal, daerah ini dikenal sebagai wilayah agraris yang menggantungkan sebagian besar perekonomiannya pada sektor pertanian.


Ironinya, selama bertahun-tahun, Perda Perlindungan Petani tidak pernah menjadi prioritas. Baru setelah muncul desakan dari masyarakat, organisasi tani, dan rekan-rekan jurnalis yang sebagian besar hidup di pedesaan dengan para petani, pembahasan perda ini kembali diangkat ke permukaan. Artinya, dorongan ini lebih bersifat reaktif ketimbang hasil dari perencanaan strategis.


Padahal, jika berbicara kepentingan, perda ini sangat krusial. Ia bukan sekadar dokumen hukum, melainkan fondasi keberlanjutan bagi ribuan petani di Sumenep. Regulasi ini akan mengatur banyak hal: perlindungan harga hasil panen, jaminan asuransi pertanian, kemudahan akses modal, hingga penguatan kelembagaan petani. Tanpa perda, semua program pemberdayaan hanya berjalan berdasarkan kebijakan tahunan yang bisa berubah kapan saja.


Sayangnya, baik eksekutif maupun legislatif selama ini tampak abai terhadap urgensi tersebut. Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP) sebagai lembaga teknis juga belum menunjukkan langkah konkret. Tidak ada inisiatif kuat untuk menyiapkan naskah akademik atau mengawal draf secara serius ke meja legislatif.


Sikap seperti ini menunjukkan bahwa kebijakan pertanian belum menjadi prioritas politik. Pemerintah lebih sering menjadikan isu pertanian sebagai jargon moral ketimbang agenda strategis. Petani selalu hadir dalam pidato, tetapi jarang hadir dalam keputusan.


Jika Perda Perlindungan dan Pemberdayaan Petani akhirnya benar-benar dibahas, publik tentu berharap ini bukan lagi bentuk pemadam tekanan politik, melainkan kesadaran tulus bahwa masa depan daerah agraris seperti Sumenep bergantung pada kesejahteraan petaninya.


Perda ini seharusnya tidak diperlakukan sebagai dokumen tambahan di antara puluhan usulan perda lain, melainkan sebagai peraturan fundamental yang menentukan arah kemandirian pangan daerah. Karena tanpa perlindungan hukum yang kuat, petani akan terus menjadi pihak paling lemah dalam rantai ekonomi, bahkan di tanah mereka sendiri.


Maka, DPRD dan DKPP Sumenep perlu menjawab satu hal dengan jujur: apakah mereka benar-benar ingin melindungi petani, atau sekadar ingin terlihat peduli dengan cara selalu berunding?


Sejarah akan mencatat pilihan mereka.