,

Iklan

Iklan

Sanad Dan Barokah Kehidupan

SerikatNasional
12 Agu 2021, 00:26 WIB Last Updated 2021-08-25T16:35:43Z

 


Oleh: Zubairi El-Karim 


SerikatNasional.idBicara agama bicara soal sanad juga. Sanad adalah  ketersambungan silsilah keilmuan yang menyampaikan pencarinya kepada Rosulillah SAW. 


Sanad sangat penting sebagai batu uji otentikasi ajaran yang kita jalani selama ini benar-benar memiliki mata rantai kepada Sang pemilik otoritas hidup atau tidak. Dari pentingnya sanad, Abdullah Ibnu al-Mubarak mengungkapkan maqalah _Al Isnadu minaddin. Laulal isnaadu laqaala man sya-a ma sya-a_. Artinya, Sanad itu bagian dari agama. Kalau tidak ada sanad, maka orang akan berkata soal agama semau- maunya. 


Kalau tidak ada sanad, akan sulit ditemukan pemaknaan ajaran yang benar, palsu atau seolah tampak benar tapi sesungguhnya hoax meski mengatasnamakan agama. Bukan karena ajarannya yang salah, tapi kepentingannya mengaburkan, mereduksi isi ajaran agama.


Banyak orang bicara agama untuk melegitimasi keilmuannya, tapi tidak memiliki jejak sanad keilmuan yang jelas yang sampai pada diri rosulillah. Sandarannya hanya sebagai alat politis agar orang percaya pada dirinya kemudian orang lain membenarkan perkataannya. 


Pada masalah agama yang normatif pendapatnya boleh benar, tapi tatkala dihadapkan pada masalah yang rumit dan problematis, kontroversial maka tekstualitas agama yang dihadirkan tidak nyambung sebagai solusi persoalan. Maka terjadilah _dzallu waadhallu_, dirinya sendiri sesat masih menyesatkan orang lain.


Sanad semula digunakan untuk melegitimasi kebenaran hadis nabi, tapi dalam perkembangannya dijadikan alat uji pada semua disiplin keilmuan agar sampai kepada diri Rosulillah SAW dan pemilik alam semesta Allah SWT. 


Memang pengumpulan hadis zaman dahulu dilakukan pada abad kedua hijriyah sekitar dua ratus tahun setelah periode nabi, tapi tradisi menghafal hadis dan ketersambungan sanad sudah dilakukan sejak masa sahabat bahkan dihadapan Rosulillah SAW. Hanya saat itu belum dituliskan secara sistematis. Kita tahu setiap dawuh dari rosulillah kelak kemudian disebut sebagai hadis, dimana konten isi dan silsilahnya sangat diperhatikan dengan cermat oleh para sahabat dengan hafalan yang kuat sehingga mata rantainya sampai kini tetap terjaga.


Terlebih setelah suhu politik memanas di zaman Ali Bin Abi Thalib, berbagai aliran keagamaan muncul, klaim-klaim hadis mulai datang mengatasnamakan rosul. Sehingga sensitifitas pada sebenar-benarnya dawuh asli rosulillah sangat diperhatikan saat itu guna menemukan kebenaran sejati.


Setelah masa sahabat, pemuka tabi'in Muhammd Bin Sirin misalnya menggelisahkan situasi politik yang memengaruhi konstelasi kebenaran agama saat itu, beliau berkata bahwa ilmu (hadis) ini bagian dari agama, lihatlah dari mana kalian mengambil agama kalian.


Pada masa Khalifah Umar Bin Abdul Aziz pula penulisan kualitas hadis rosulillah dan sanad ketersambungan sangat selektif dijaga eksistensinya. Itu semua melihat betapa pentingnya keberadaan orang, kapabilitas, integritas kejujuran dan kebersihan akal dan budi pekerti sang perawi hadis.


Seorang pendeta dan orientalis Inggris, David Samuel Margoliouth, yang terkenal sangat memusuhi Islam juga mengakui keberadaan sanad, sehingga terasa sulit untuk merobohkan Islam sebab keberpegangan umat Islam pada silsilah sanad yang sangat kuat. Ucapannya : _'Pantas umat Islam bangga sebangga-bangganya dengan ilmu hadits mereka, semua karena sanad'._


Perihal sanad sangat mementingkan sumber pembawa ilmu bukan sekedar apa isi ilmunya. Karena ilmu atau informasi yang datang bisa dikelola sedemikian rupa sesuai kehendak pembawa ilmu atau pembuat informasi. Apalagi bila informasi yang disuguhkan memiliki intrik-intrik politik, maka kebenaran ilmu makin terasa absurd.


Terlebih di zaman politik kamuflase seperti sekarang ini, eksistensi sumber (pembawa ilmu) jauh lebih penting dari apa isi ilmunya itu sendiri. Ibarat mata air, bila hulu sumber deras dan bening, maka air akan mengalir jernih sampai hilir. Demikian pula sebaliknya, bila dikotori dengan kehendak lain maka keruh pula sampainya di sisi umat. Karena itu maka sanad berfungsi untuk menjernihkan silsilah keilmuan pada setiap tikungan zaman agar tetap orisinil ditengah pengaruh peradaban.


Dulu, kebenaran materi sangat ditentukan oleh materinya, bukan oleh sumbernya. Sehingga ada ungkapan _Undhur ma qala wala tandhur man qala_ sekarang ungkapan itu layak dibalik menjadi _undhur man qala_. Melihat siapa yang berbicara bukan sekedar apa isi pembicaraaanya. 


Ajakan melihat isi hanya untuk menjelaskan kesetaraan manusia ditengah sekat-sekat primordialisme.  Dan itu hanya ada di zaman normal bebas fitnah. Tapi manakala zaman sudah memasuki era post truth, maka pribadi yang jujur jauh lebih penting dari isi informasinya.  Karena dari pribadi yang jujur akan melahirkan keilmuan yang original. Ditangan para pecundang, Ilmu maupun silsilah sanad bisa dipalsukan untuk keinginan tertentu, sehingga genuin agama terasa makin jauh dari api kebenaran. 


Seiring perkembangan, Islam tidak hanya bergerak di jazirah arab saja, tapi makin lama makin menyebar ke berbagai pelosok negeri, maka Islam dituntut untuk memenuhi kebutuhan dan kemampuan umat yang makin beragam, sehingga keberadaan hadis yang di zaman sahabat hanya berkelindan dengan skrip lokal dituntut lebih sistematis, terkodifikasi dengan baik menjadi struktur yang baku. Maka sanad silsilah periwayatan saat itu menjadi hal utama yang diperhatikan. Dari sanad itulah kebenaran agama berpangkal. Kitab-kitab musnad lahir untuk menjaga sumber hukum Islam.


Imam Syafiie misalnya dikenal sebagai _nashirus sunnah_ karena beliau penyelamat dasar-dasar ilmu sistem periwayatan hadis yang tidak hanya bertumpu pada hadis mutawatir saja tapi juga hadis ahad sepanjang perawinya dapat dipertanggungjawabkan. Lagi-lagi sanad menjadi pegangan.


Untuk menjaga kualitas sanad maka ulama dahulu memiliki tradisi ijazah usai ilmu diajarkan. Seorang santri dahulu rela berjalan jauh berkilo meter hanya untuk berguru dalam satu disiplin keilmuan guna mendapatkan ijazah dari gurunya. Karena ijazah bukan semata bukti legalitas formal keillmuan melainkan juga sebagai bukti atas kualitas keilmuan dan  sanad kebarokahan yang terus bersambung pada diri Rasulillah SAW. 


Kini ijazah sudah ditebar dimana-mana melalui proses instan, sehingga serasa ilmu sudah kehilangan barokahnya. Masa lalu, pemberian ijazah bahkan dilakukan oleh Nabi kepada beberapa sahabatnya guna melegitimasi kualitas seseorang dalam satu bidang keilmuan. Nabi pernah melegitimasi sahabat yang ahli al-Quran, beliau bersabda : _'Ambillah Al-Qur’an dari empat orang; dari Abdullah bin Mas’ud, Salim, Muadz bin Jabal dan Ubay bin Ka’ab._


Di tanah air, kita mengenal Hadratus Syekh KH. Muhammad Hasyim Asyari yang diakui sebagai pemegang sanad Shahih Bukhari Muslim. Hal itu diakui oleh gurunya K. Moh. Cholil Bangkalan, bahkan gurunya sendiri tak segan menimba ilmu hadis dari kepakarannya. Beliau dijuluki Hadratus Syekh  karena 

hafal kutubus sittah, cakupan kitab hadis Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Tirmidzi, Sunan Abu Daud, Sunan Nasa'i dan Sunan Ibnu Majah, baik secara matan maupun sanad. Bahkan ilmu K Hasyim dianggap mendekati keilmuan mujtahid. Ketokohan K hasyim diakui justru karena isi dan sanad keilmuan yang dimilikinya.


Pemahaman tentang sanad bukan hanya soal transmisi keilmuan guru pada muridnya tapi juga transmisi kebarokahan. Orang dahulu berebut membalikkan sandal sang kiyai, berebut gayung air wuduk sang kiyai, berebut berkhidmah dari pada belajar ilmu bukan hanya soal ingin mendapatkan ketersambungan ilmu tapi ketersambungan barokah. 


Para santri dahulu ingin ilmu untuk nutrisi otaknya didapat, tapi juga ilmu hatinya membekas sehingga dapat menyetir perjalanan hidup diri dan masyarakatnya. Tak heran sampai di masyarakat hidup kiyai dahulu sangat dihormati, menjadi panutan bahkan dalam semua soal-soal keseharian masyarakat.


Karena ilmu dan barokahnya bersambung dengan guru-gurunya, maka ulama dahulu tidak mudah menvonis orang lain hitam putih. Bahkan bila mendapatkan kemaksiatan di jalan, atau praktek amaliyah keagamaan yang berbasis tradisi, ulama dahulu tidak terdengar langsung mengumpat,  membid'ahkan, mengafirkan atau mensyirikkan amalan seseorang. Kenapa? karena isi dan sanad keilmuan mereka matang, dan pengalaman dakwah berakulturasi dengan budaya masyarakat mereka warisi dari sanad pengalaman guru-guru mereka.


Berbeda dengan kenyataan hari ini dimana sebagian orang yang hanya hafal dua tiga hadis secara instan berani membid'ahkan tradisi amaliyah umat yang telah mengakar puluhan tahun. Ini terjadi karena semangat keagamaan orang hari ini lebih besar dari ilmu yang didapat. Inilah pentingnya belajar. Orang  luas ilmunya, makin luas cara pandangnya, makin memahami keadaan. 


Demikian juga sebaliknya, orang yang sempit ilmunya, sempit pula pemahamannya, tindakannya akan mengedepankan emosi sebagai jawaban dari ketidakmampuannya menyikapi keadaan. Makin dalam mata batin seseorang, maka ia akan makin arif memahami keadaan umat. Setiap pandangannya penuh kasih sayang. Kasih sayangnya melebihi kemarahannya saat melihat kemungkaran. 


Mari berusaha mewarisi ulama dahulu menjadi wakil Allah dibumi yang penuh cinta dan kasih sayang.


Penulis adalah pegiat NU dan KIM Sumenep serta Dosen Stidar Sumenep.

RECENT POSTS