,

Iklan

Iklan

Memadamkan Api Masalah Dengan Perspektif Lain

SerikatNasional
21 Agu 2021, 13:46 WIB Last Updated 2021-08-21T13:03:15Z
Foto Ilustrasi/Dokumen serikatnasional.id




Penulis: Zubairi El-Karim


SerikatNasional.id |Api yang besar selalu dimulai dari sulutan-sulutan kecil, dikompori, dikipasi, dibawa angin media, menjalar menjadi isu bahkan konflik dimana-mana.

 

Api masalahnya sendiri terkadang bukanlah besar, tapi dibuat besar oleh keinginan dan intrik politik tertentu, sehingga sulutan kecil menjadi masalah besar dan berkepanjangan. Padahal masalah itu kesenjangan yang bertumpu pada soal perspektif saja, hanya soal siapa dan dari sudut mana cara kita memandang masalah dan bagaimana menyelesaikannya. 


Ketika masalah datang kita dituntut untuk memiliki filosofi hidup, cara berinteraksi dan mengendalian diri bahwa semua yang datang adalah ujian kesabaran, dan bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain. 


Ketika berhubungan dengan orang lain di ruang publik, kita harus faham bahwa orang lain adalah pribadi yang lain yang tidak sama dengan kita, terkadang tak bisa kita kendalikan.


Kadang masalah yang datang bukanlah masalah besar, tapi masalah kecil, tapi respon yang salah menjadikan energi kita habis untuk menyelesaikan api masalah, apalagi bagi mereka yang selalu tampil perfeksionis dihadapan semua orang, bisa lebih besar solusinya ketimbang masalahnya. Masalahnya hanya semut tapi solusinya gajah. 


Dalam menghadapi masalah kita harus tahu bahwa tak ada sesuatu yang sempurna, kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Kadang kita tak dapat menerima keadaan diri kita, keluaga, lingkungan, masyarakat, negara yang kita pandang tidak sempurna, tapi itu realitas yang harus disadari. Jangan selalu menyalahkan diri dan orang lain, itu akan menambah beban psikis, menurunkan imun, mengacaukan akal fikiran, bahkan membuat kita salah jalan.


Yang bisa kita lakukan bukan menyalahkan orang lain, tapi mengendalikan diri dan fikiran kita. Fikiran itu seperti bola salju, ketika gagal dikendalikan maka akan makin menggelembung dan menentukan sebagian besar keputusan hidup kita. 


Dalam kehidupan terkadang kita menjumpai masalah yang perlu kita fikirkan, kita hadapi, dicarikan solusinya, tapi terkadang hanya perlu diselesaikan dengan hati, dipasrahkan saja. Ini yang kita kenal dengan tawakkal. Masalah yang tak seimbang, kita seimbangkan. Seperti memandang kehidupan dunia dan akhirat, kata al-Quran yang kita ingin raih sesungghnya tujuan rumah akhirat yang tak seimbang dengan dunia, tapi kita seimbangkan dengan gaya berfikir, bahwa menuju akhirat kita diminta jangan melupakan kebutuhan nasib di dunia, sebagai sarana mencapai akhirat. 


Kita tahu bahwa lisan dan hati hal yang beda tapi kita harus seimbangkan. Ketika lisan dan hati sama-sama kosong, maka diri adalah bangkai berjalan. Atau ketika hanya lisan berisi, hati kosong maka Allah murka dengan firman-Nya, _'lima taquluna ma la taf'alun, kabura maqtan indallah'_ Kenapa kita hanya pandai berkata, tak pandai berbuat, Allah murka yang bagi mereka yang tidak satu kata dan perbuatan. Yang baik ketika lisan dan hati sama-sama berisi dan bernutrisi, yang dikatakan adalah yang dilakukan, sehingga melahirkan kebaikan-kebaikan.


Menghadapi berbagai masalah, ibarat kendaraan kita harus memiliki filosofi hidup _gas ada rem._ Kalau gas diinjak tanpa batas, maka bahaya pada keselamatan diri dan penumpang. Di rem melulu kapan sampainya. 


Berkaitan ini, terkadang kita jumpai kelompok-kelompok sumbu pendek dan suka ngegas masalah, mudah tersulut dengan emosi berlebihan oleh provokasi media, cepat meledak, mudah menghakimi, sering memaki bahkan mengajak orang lain ikut-ikutan membenci dengan teriakan takbir. 


Tak semua masalah perlu direspon dengan gas atau rem. Ada kalanya dengan diam, masalah selesai. Sulutan api akan makin membakar saat api ketemu kayu, apalagi ada minyak provokasi. Maka adakalanya kita cukup mengalah dan diam, kalau perlu bicara, bicaralah pada saat yang tepat. Diam terkadang tidak diartikan menolak atau menyetujui, tapi mengkaji akar masalah secara mendalam dan memandang jauh kedepan pada hal yang lebih substansial dan tidak onar. Terkadang diam adalah kata beribu suara yang menggetarkan.


Menghadapi masalah kita berusaha jujur menerima kenyataan bahwa hidup ini kadang tidak adil bagi diri kita. Masalah yang datang itu ujian buat kita, sehingga kita tidak punya kebiasaan memaki, menghujat, berfikiran negatif pada orang lain disekitar kita. Masalah datang tak semua kesalahan orang lain, tapi ujian untuk mendewasakan diri kita. Kalau sering menyalahkan yang lain lama- lama Tuhanpun kita salahkan karena takdir-Nya tak sesuai kemauan kita. 


Dalam berinteraksi dengan orang lain perlu merohanikan simpati dan empati. Mari kita belajar memahami keadaan  dengan perspektif yang lain, bukan kacamata kita melulu. Dengan demikian kita akan cenderung menerima dan makin memaksimalkan potensi hidup kita. Kita sedang diuji untuk bisa memahami dan memaklumi. 


Kita sering menjustifikasi atau menghakimi orang dengan perspektif kita padahal seandainya itu terjadi pada diri dan keluarga kita justru kita mendahulukan rasa empati. Misalnya, saat menjumpai anak-anak muda yang nakal, bukan selalu didekati dengan cara memaki, menghujat atau mengeluarkan mereka dari kehidupan kita. Dengan perspektif diri, seandainya mereka adalah anak-anak kita, masihkan kita berlaku sama. Mereka juga ingin hidup mendapatkan perhatian, empati dan kasih sayang seperti anak kita. 


Kita fikirkan dengan dalam kenapa mereka lakukan demikian, apa latar belakangnya, bagaimana lingkungan yang membentuknya, sehingga yang terjadi timbul kasih sayang bukan makian, bukan peminggiran.


Misalnya juga memandang tuduhan ketidak adilan penguasa atas pilihan-pilihan kebijakannya. Jangan selalu dilihat dari perspektif pengamat kebijakan publik, adakalanya kita  perlu membaca dari perspektif keadaan diri dan kebangsaan kita. Kata agama, bahwa warna penguasa dihadirkan Tuhan ketengah-tengah kita sebagai cermin keadaan diri kita. Pemimpin tidak adil dihadirkan untuk masyarakat yang serakah. Isteri yang cerewet dihadirkan untuk suami yang sabar, calon wali. Setiap masa ada pemimpinnya, setiap pemimpin ada masanya, dan masing masing dihadirkan Tuhan dengan tantanganya sendiri-sendiri sesuai kemampuan cara pandang rakyatnya. Allah tak akan menguji diri dan bangsa kecuali sesuai dengan kadar kemampuan otak dan fikiran dalam menghadapinya.


Pikiran dengan perspektif tunggal diri sendiri cenderung akan mudah menyalahkan orang lain, akan menjebak kita pada pandangan black and white hitam putih dan salah benar. Corona virus misalnya, jika selalu dilihat dari kacamata kebencian dan kecurigaan bahwa ini serangan yahudi kapital dengan teori konspirasinya, maka akan menjadikan diri kita pribadi antipati dan pembenci. Sesekali kita perlu melihat dari perspektif yang lain, sebagai ujian kesabaran dalam diri dan bangsa untuk makin mensyukuri nikmat Tuhan. Hal itu menyebabkan pikiran kita makin rasional dan patuh pada kebijakan negara yang ingin menyelamatkan keadaan. Bukan selalu menyalahkan apapun kebijakan PPKM, vaksinasi dan prokes.


Jangan setiap persoalan yang datang hari ini kita selesaikan hari ini juga, kalau tidak, lalu kita anggap gagal. Respon cepat harus diimbangi pikiran matang yang kontemplatif. Respon itu terkadang bukan memadamkan api tapi malah membesarkan api menjadi riak-riak konflik. 


Tak jarang pula perpecahan muncul karena perspektif benar sendiri dan fanatisme kelompok yang berlebihan. Sering kita jumpai fanatisme kelompok lebih besar dari fanatisme terhadap Islamnya. Masalahnya sebetulnya hanya masalah furu'iyah, tapi seolah difahami ini kebenaran tunggal, kebenaran absolut, kebenaran sejati padahal ijtihadi. Sehingga tindakan menjadi membabi buta dan tidak moderat. Akhirnya terjadi percekcokan, perang urat syaraf di media sosial, saling maki berdasar kebenaran kelompok, menjauhkan sahabat dan saudara, bahkan di beberapa isu melahirkan konflik dan perpecahan. 


Lihatlah bagaimana banyak negara timur tengah hancur hanya soal perbedaan perspektif beraroma politik. Apa ini akan kita teruskan?.


Penulis adalah pegiat NU dan Dosen Stidar Sumenep.

RECENT POSTS