,

Iklan

Iklan

Dakwah di era Digital

SerikatNasional
14 Agu 2021, 15:54 WIB Last Updated 2021-08-14T08:54:55Z


Oleh : Zubairi El-Karim*)


Peradaban senantiasa bergerak dinamis menandai perubahan zaman. Banyak perubahan yang terjadi, baik ideologi, sosial budaya, tata kehidupan ekonomi maupun politik. Semua digerakkan oleh arus perubahan teknologi dari konvensional ke arah digital.


Segala sesuatu berubah, berubah bukan untuk menjadi sempurna, tapi menjadi lebih baik. Jangan hentikan perubahan, karena tak ada keabadian dalam perubahan. Perubahan itu sendiri adalah keabadian. 


Di abad 21 kali ini kita memasuki era Revolusi Industri 4.0 yang disebut sebagai cyber physical system. Revolusi ini menitikberatkan pada otomatisasi dan mengkolaborasikannya dengan teknologi siber. Perubahan di berbagai sektor tak terkendali. Pekerjaan yang semula banyak dilakukan tenaga manusia kini telah diganti mesin yang efektif untuk meminimalisir pemborosan.


Begitupun juga dengan dunia dakwah. Dakwah tak cukup dilakukan secara konvensional, dari masjid, mimbar khutbah,  panggung pengajian secara verbal tapi harus segera bermetamorfosis ke arah dakwah digital. Kenapa? Karena dakwah juga harus disesuaikan dengan eranya agar mudah diterima dan agama tetap menjadi poros kehidupan.


Di era digital, informasi sangat berlimpah. Keberlimpahan informasi tak berbanding lurus dengan semangat literasi. Informasi makin banyak sementara literasi penyaringan makin kurang, sehingga pertahanan jebol. Setiap informasi yang datang semua diterima awam dengan lugu tanpa sikap kritis. Padahal sikap kritis itu memiliki fungsi menyaring, menilai, memutuskan kesahihan informasi. 


Sebab pertahanan jebol maka informasi tidak hanya berfungsi mengayakan pandangan tapi juga berfungsi sebagai alat propaganda yang menusuk-nusuk. Media hari ini telah ikut andil dalam menyuburkan sikap radikalisme dan intoleransi. 


Kadangkala penganut radikal bukan karena belajar pada radikalis dan teroris tapi belajar pada ancaman dan  kehawatiran agama berlebih yang dikembangkan oleh media sosial menjadi alat permusuhan antar sesama anak bangsa.


Mereka menggunakan keterancaman emosi agama dengan kampanye 'umat Islam dalam bahaya' oleh kelompok agama lain termasuk yahudi di timur tengah maupun di asia termasuk di Indonesia. Kehawatiran dan pembelaan terhadap agamanya lebih mengemuka ketimbang kewajibannya untuk membangun persatuan antar pemeluk agama. Sehingga setiap tindakan agama lain selalu dicurigai sebagai gerakan musuh perusak agama.


Setiap orang sudah punya medsos sendiri-sendiri, sudah bisa menjadi netizen jurnalis sendiri, punya daya literasi dan daya tangkal sendiri pada setiap informasi di media sosial. Peperangan di medsos sudah head to head, bukan lagi kelompok. Diri yang matang akan mampu membentengi dirinya dalam menakar informasi. 


Karenanya, jika mendapat informasi  jangan mudah percaya begitu saja, klarifikasi dengan daya saring literasi dan cek data pada sumber media mainstream.


Hari ini kita memasuki konsep bangsa baru, yaitu revolusi digital atau digital nation dimana masa depan kita tidak akan terjadi begitu saja, ini perlu dibangun oleh passion hasrat yang kuat.


Saat dunia berubah kita harus sadar bahwa era berbasis teknologi telah mentransformasi kehidupan dunia dengan cepat. Terjadi pergeseran pola fikir mindset. Teknologi digital telah mengubah kehidupan dengan Otomasi, Big Data, Internet of Thing, dan kecerdasan buatan. 


Saat telah terjadi perubahan digital, maka pesantren, madrasah, lembaga pendidikan, lembaga kursus perlu meremajakan kurikulum yang berorientasi pada muatan teknologi informasi dan inovasi. Para santri di pelosok negeri harus disiapkan bukan hanya mmpu memprogram tapi ke arah berfikir komputasional (computational thinking) untuk menyelesaikan persoalan melalui pendekatan informatika, termasuk cara melakukan pemodelan, menganalisis data, dan mengekstrak informasi.


Hari ini, kita perlu juga menyiapkan kader yang punya  kemampuan literasi digital di tengah perang media dan sampah informasi. Literasi digital adalah pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya. Tujuannya agar punya peran dakwah sebagai upaya mengencangkan Islam rahmatan lil alamin.


Orang yang melek media akan mampu menyaring setiap informasi sekaligus mampu berdakwah dengan semangat Islam moderat sebagai ciri dakwah Islam wasathiyah, agar Islam menjadi gerakan sekaligus Ilmu dalam mengurai persoalan umat.


Media dakwah digital harus gencar menyuarakan Islam yang inklusif ditengah keberagaman. Kita harus faham kemajemukan NKRI yang di dalamnya hidup 6 agama, 187 kelompok penghayat kepercayaan, 1331 suku, 652 bahasa daerah, 431.465 organisasi kemasyarakatan.


Selain itu kita harus mengarusutamakan kepentingan nasional di atas kepentingan golongan apalagi pribadi. Pemahaman yang diusung pendakwah digital harus berimbang guna membendung arus radikalisme dan fanatisme juga sebagai arus tandingan media dakwah konservatif.


Media penting sebagai instrumen dakwah. Kita tidak boleh kaku harus ringan dalam memahami tantangan apapun. Era ini dakwah virtual terasa lebih konvertable dengan era digital. Medsos itu urusan produksi, distribusi dan interaksi. Perhatikan respon penikmat terutama saran dari para pakar. Perhatikan respon hater, lover yang subyektif dan obyektif. 


Jangan heran kenapa banyak ustaz entertainment mudah diterima masyarakat karena mereka peka membaca kecenderungan media virtual yang familiar dengan masyarakat digital. 

Isi dakwah yang baik itu sederhana dimana bahasanya bisa difahami dengan mudah, tidak terkesan menggurui dan memberi keteladanan. Membuat konten yang inovatif jauh lebih efektif dari ceramah verbal.


Dakwah kedepan perlu sarana multimedia yang menjadi corong penyebarluasan dakwah di media sosial. Berbagai website milik kalangan moderat harus diupdate dan diupgrad. Ia harus berfungsi sebagai penyaring atas konten provokatif yang meracuni otak generasi.


Selain rajin berdakwah, perhatian kita pada wilayah dokumentasi digital harus baik. Dokumentasi digital adalah kekayaan sejarah dan perjuangan budaya ulama nusantara yang dikumpulkan, dikelola, dan disimpan secara digital.


Kita tidak boleh menjadi generasi yang aliterasi. Kita harus banyak membaca berbagai regulasi negara baik tentang UU Penyiaran, UU Hak Cipta, kode etik dan jurnalistik, UU Pers dan penggunaan media sosial dll. Kurangnya budaya literasi dan kemandirian dalam menelusuri kebenaran sejati pada setiap wacana menjadi sumber kekacauan hoak. Lubang kelengahan ini dimanfaatkan oleh provokator menghadirkan informasi abal-abal yang makin membingungkan akal sehat.


Mari budayakan literasi, jangan mudah sharing sebelum disaring.


*). Penulis adalah Pegiat NU dan KIM, serta Dosen Stidar Sumenep.

RECENT POSTS