Iklan

https://www.serikatnasional.id/2024/10/blog-post.html

Iklan

,

Iklan

Bendera Setengah Tiang, Simbol Duka dan Perlawanan Rakyat Kecil

SerikatNasional
9 Sep 2025, 16:42 WIB Last Updated 2025-09-09T10:28:40Z


Opini   : Dia Puspitasari, S.Sosio.,M.Si.,M.I.Kom (Dosen Untag Surabaya)

Dalam tradisi kenegaraan, pengibaran bendera setengah tiang merupakan simbol duka kolektif. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara menegaskan bahwa bendera setengah tiang dikibarkan ketika bangsa sedang berkabung atas wafatnya presiden, wakil presiden, atau tokoh penting negara. Namun, ketika simbol ini digunakan dalam konteks gugurnya seorang pengemudi ojek online (ojol) yang dilindas mobil polisi, ia memperoleh makna politik dan moral yang lebih luas. Bendera tidak lagi sekadar instrumen protokoler negara, melainkan medium ekspresi rakyat.


Secara semiotik, Roland Barthes menyebut bahwa simbol bekerja melalui denotasi dan konotasi. Secara denotatif, bendera setengah tiang hanyalah kain yang diturunkan separuh. Namun, secara konotatif, ia menjadi tanda kehilangan, duka, bahkan perlawanan. Dalam kasus ojol, ruang kosong di atas bendera setengah tiang dapat dibaca sebagai representasi "nyawa rakyat kecil yang hilang", sekaligus sindiran bahwa perlindungan negara atas warganya masih kosong dan absen.


Lebih jauh, Clifford Geertz dalam teori simbol budaya menegaskan bahwa simbol adalah model bagi realitas dan model dari realitas. Maka, bendera setengah tiang yang dikibarkan rakyat adalah model bagi realitas yakni harapan akan keadilan sosial, dan sekaligus model dari realitas yakni potret konkret ketidakadilan struktural yang dialami pekerja jalanan.


Kematian seorang ojol bukan sekadar insiden lalu lintas. Ia adalah refleksi dari kerentanan struktural sektor informal: minimnya perlindungan sosial, tidak adanya jaminan keselamatan kerja, dan ketidakadilan dalam relasi antara rakyat kecil dengan aparat negara. Ketika aparat justru menjadi bagian dari tragedi, maka pengibaran bendera setengah tiang adalah bentuk protes moral, bahkan perlawanan simbolik terhadap arogansi kekuasaan.


Sebagai Sarinah sekaligus akademisi, kami memandang peristiwa ini sebagai alarm keras bahwa Merah Putih tidak boleh hanya dikibarkan dalam seremoni negara. Ia juga harus berkibar untuk duka wong cilik. Karena dalam amanat konstitusi, tugas utama negara adalah “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.”


Bendera setengah tiang untuk ojol yang gugur ini adalah pesan jelas: rakyat menuntut keadilan, perlindungan, dan keberpihakan. Jika tidak, maka simbol ini akan terus menjadi pengingat bahwa nyawa rakyat kecil di negeri ini belum dianggap setara dengan nyawa pejabat negara.


Merah Putih setengah tiang bukan hanya tanda duka, tetapi juga tanda perlawanan-perlawanan rakyat kecil untuk hidup aman, layak, dan bermartabat di tanah airnya sendiri.