Iklan

https://www.serikatnasional.id/2024/10/blog-post.html

Iklan

,

Iklan

BMKG Menghimbau Masyarakat untuk Waspada, Ada Potensi Kekeringan Kritis di Sumenep

SerikatNasional
11 Agu 2025, 16:19 WIB Last Updated 2025-08-11T09:25:15Z


Sumenep, Serikatnasional.id | Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Trunojoyo memastikan wilayah Sumenep dan sekitarnya telah memasuki musim kemarau sejak Mei 2025.


Namun, awal kemarau tahun ini berbeda diawali dengan fenomena kemarau basah akibat tingginya pasokan uap air di atmosfer selama beberapa bulan terakhir.


Kepala BMKG Trunojoyo Sumenep, Ari Widjajanto, menjelaskan bahwa meski memasuki musim kemarau, pada dua bulan pertama hujan masih kerap turun.


Data menunjukkan, pada Juli 2025 hujan tercatat selama lima hari dengan total curah hujan 31,3 milimeter.


Jumlah ini lebih banyak dari sisi hari hujan dibandingkan Juli 2020 yang hanya tiga hari, namun secara volume, tahun 2020 justru mencatat 45,3 milimeter.


“Kalau dibandingkan dengan 2020, memang dari sisi intensitas masih lebih deras tahun 2020 meskipun hari hujannya lebih sedikit. Sedangkan tahun ini, intensitas lebih ringan tapi hari hujannya lebih banyak,” kata Ari Widjajanto, Senin (11/08/2025)


Ari menyebut pola musim 2025 lebih mirip dengan 2021, ketika hampir tidak terjadi hujan sama sekali di bulan Agustus.


“Insyaallah di Agustus 2025 ini kita tidak lagi mengalami hujan. Jadi bisa dibilang, kondisi musim kemarau kita tahun ini lebih mirip ke tahun 2021,” jelasnya.


Seiring masuknya Agustus, tren cuaca menunjukkan curah hujan mulai menurun dan diperkirakan terus berkurang hingga September.


“Kondisi ini tentunya memunculkan potensi kering kritis di sejumlah wilayah rawan kekeringan di Sumenep,” sambungnya.


Ari mengingatkan, meski suhu muka laut saat ini berada pada kondisi yang cukup mendukung, hal itu tidak menjamin bebas dari risiko kekeringan ekstrem apabila hujan tak kunjung turun.


Situasi ini, kata Ari, menjadi dilema bagi warga. Petani garam dan tembakau justru membutuhkan cuaca kering demi hasil panen optimal, namun di sisi lain, kemarau panjang tanpa hujan mengancam pasokan air bersih.


‘BMKG sendiri mencatat, pada 2018, 2019, dan 2023, Madura pernah melewati Oktober tanpa satu tetes hujan pun, dan pola tersebut berpotensi terulang,” ujar Ari


Untuk itu, Ari mengimbau masyarakat, terutama di daerah rawan kekeringan, agar mulai mengantisipasi dampak musim kemarau.


Langkah hemat air, penyimpanan cadangan, hingga koordinasi intensif dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) menjadi kunci agar dampak kering kritis dapat ditekan.


“Kami minta masyarakat untuk tidak menganggap enteng kondisi ini. Langit memang bisa berubah, tetapi jika hujan tak kunjung datang, kesiapan kita menjadi penentu,” pungkas Ari.


Penulis: Rasyidi