Artikel, Serikatnasional.id | Di selatan Dompu, tepatnya di kecamatan Hu'u terdapat beberapa kampung yang didirikan oleh orang-orang Bima. Sebut saja Jala, Kuta, Lanta, Lodo, Tenga, Cempi Jaya, Rasabou. Kampung-kampung ini ada yang sudah mekar menjadi desa, tapi tidak sedikit yang masih berstatus dusun.
Wilayah selatan Dompu sebelumnya terdapat kampung asli yang dihuni oleh orang Dompu asli, sebut saja Daha, Hu'u dan Adu sebelum orang-orang Bima datang mendiami sebagian wilayah ini. Di masa Ncuhi, ketiga wilayah ini terbagi menjadi tiga wilayah kekuasaan yang dipimpin oleh masing-masing penguasa yang bergelar Ncuhi.
Paling selatan yang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia, adalah wilayah kekuasaan Ncuhi Hu'u yang meliputi Ncangga, Nangadoro dan pegunungan Puma saat ini. Sementara bagian tengah adalah wilayah kekuasaan Ncuhi Daha. Kemudian di bagian utara yang meliputi wilayah desa Rasabou, Kuta, Lanta, Rasabou, Cempi sekarang ini merupakan wilayah kekuasaan Ncuhi Adu. Sori Adu serta Doro Adu yang sekarang menjadi batas wilayah desa Rasabou dan Desa Daha merupakan batas wilayah kekuasaan Ncuhi Adu dan Ncuhi Daha di masa lalu.
Di masa kesultanan, terlebih setelah Sultan Muhammad Sirajuddin dibuang ke Kupang pada tahun 1934 oleh pemerintah kolonial Belanda, banyak orang Bima yang migrasi ke wilayah Dompu. Meski dalam catatan perjalanan Zollinger yang pernah datang ke pulau Sumbawa setelah meletusnya gunung Tambora pada 11 April 1815 sudah ada migrasi pada masyarakat kedua wilayah ini, walau pun dalam intensitas yang tidak begitu masif.
Dalam catatan perjalanan itu Zollinger yang datang pada 1847 menyatakan bahwa antara Dompu dan Bima telah ada hubungan timbal balik, yaitu orang Bima menetap di Dompu dan juga sebaliknya orang Dompu menetap di Bima. Ini terjadi terutama karena adanya perkawinan dimana adat mengharuskan seorang wanita menetap mengikuti suaminya (Helius Sjamsuddin, 2015: 47, Zollinger, 1850:143).
Kedatangan orang Bima pasca pembuangan Sultan Dompu ke wilayah timur, menjadikan sebagian wilayah Dompu terlebih wilayah selatan terbentuk kampung-kampung baru. Namun demikian, kedatangan orang-orang Bima ini tidak mendapat resistensi dari warga asli Dompu, sebab sejak zaman kesultanan, hubungan kedua masyarakat yang bertetangga ini cukup harmonis. Ini ditandai dengan tidak adanya catatan konflik yang muncul antar kedua masyarakat yang memiliki hubungan persaudaraan yang kuat ini.
Bahkan kehadiran orang-orang Bima disambut baik oleh orang Dompu, hingga mereka menetap lalu membangun perkampungan sendiri dengan memberi nama kampung asal mereka. Tentu saja ada banyak faktor yang melatar belakangi kedatangan orang-orang Bima ini. Ada yang dilatar belakangi karena faktor ekonomi, keluarga dan pernikahan. Mereka membuka lahan-lahan baru, ini ditandai dengan istilah 'mpungga', membuat ladang yang dikemudian hari menjadi sawah garapan.
Sementara wilayah pesisir, orang-orang Jala tetap memilih menjadi nelayan sebagaimana kebiasaan asal mereka di Bima sana. Mereka memandang laut serupa warga argraris memandang tanah sebagai sumber kehidupan mereka. Walau pun sebagian di antara mereka ada yang memilih profesi yang lain seperti menjadi pengusaha dan menjadi guru.
Kedatangan mereka serupa membuka jalan bagi orang-orang Bima lain yang juga ikut mendiami wilayah selatan Dompu ini. Bahkan di antaranya juga ada yang tinggal di Hu'u Daha dan Adu yang merupakan kampung asli Dompu. Mereka hidup harmonis, dan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat setempat. Meski berstatus warga 'pendatang' orang Bima ini tidak melupakan kampung asalnya. Sehingga tidak heran ada ucapan yang familiar di masyarakat Dompu hari ini yakni 'lao ese Mbojo'.
'Lao ese Mbojo' merupakan ungkapan yang mengarah ke Bima, tempat dimana mereka berasal. Tempat dimana kehidupan awal mereka sebelum tinggal dan melahirkan generasi di tempat baru. Karena wilayah yang bertetangga, tidak jarang saat ada acara perkawinan, sunatan dan ketika ada yang meninggal, mereka akan saling mengunjungi dan merawat hubungan kekeluargaan. Di momen itulah orang-orang Bima menguatkan hubungan di antara mereka.
Sutaman (70) yang berasal dari Kuta Parado menuturkan, ketika awal kedatangannya ke Dompu bersama beberapa orang satu kampungnya di tahun 1951 disambut cukup baik oleh masyarakat Daha. Untuk sampai ke Daha, mereka hanya menyusuri jalan setapak yang membelah hutan belantara.
"Jika berjalan bersama laki-laki, kami hanya menghabiskan waktu sekitar enam sampai tujuh jam perjalanan. Tapi ketika ada beberapa perempuan dalam rombongan, biasanya lebih lama dalam perjalanan" kenangnya, Kamis, 1 Mei 2025
Kedatangan orang Bima dari Kuta Parado ini lebih di latarbelakangi karena faktor ekonomi, walau pun di kemudian hari faktor perkawinan juga ikut mempengaruhi. Sehingga tidak heran dalam keluarga masyarakat dusun Kuta, desa Rasabou saat ini banyak yang beristrikan orang Daha. Bahkan bisa dikatakan sebagian besar pemuda Kuta Parado yang memilih tinggal di Dompu waktu itu memilih perempuan-perempuan Daha sebagai istrinya.
Sementara masyarakat Lodo, berasal dari berbagai kampung di Bima. Ada yang berasal dara Campa, Samili, Kalampa, Kuta Parado, Tente. Mereka membaur lalu menjadi satu kesatuan dalam satu kampung. Seiring berjalannya waktu mereka hidup bersama, dan tidak jarang di antara mereka dipertautkan adanya hubungan pernikahan.
Hal yang tidak jauh berbeda pada masyarakat Cempi Jaya. Sebagai desa hasil pemekaran dari Desa Adu, Cempi Jaya dihuni mayoritas orang-orang Bima, hal ini ditandai dengan nama dusun serta adanya pemetaan tempat tinggal berdasarkan daerah asal. Misalnya, Dusun Ngali, Dusun Wawo dan Dusun Roi. Nama-nama dusun ini menegaskan dari mana asal muasal masyarakat yang mendiaminya, meski sebagian kecil ada juga yang berasal dari wilayah lain di Bima.
Sehingga tidak perlu heran ketika di perantuan mereka yang dari Bima ini meski tinggal dan besar di Dompu tetap menyebut dirinya orang Bima. Maka di tanah rantau seperti Malaysia, Jakarta serta Makassar, orang lebih mengenal Bima dari pada Dompu. Bahkan tidak jarang orang tidak tahu menahu tentang Dompu di banding Bima. Bima lebih dikenal dan lebih familiar. Mereka yang mengaku tetap menjadi orang Bima, meski besar di Dompu ini bukan tidak mencintai Dompu. Tetapi secara cultur ia lebih dekat dengan cultur Bima dibandingkan kultur Dompu, meski dirinya lahir dan besar di Dompu.
Hal ini tidak mengherankan, karena orang Bima yang tinggal di wilayah Dompu tidak datang hanya fisiknya saja, tetapi juga dengan budaya yang melekat pada diri mereka. Sehingga ketika melahirkan generasi berikutnya meski sudah menetap di tanah Dompu, mereka tetap mendidik anak-anaknya dengan kultur asalnya. Sehingga lambat laun, budaya terlebih bahasa yang digunakan, mereka menggunakan bahasa ibunya.
Ini tidak hanya terjadi alkulturasi budaya, tetapi juga dapat dipandang terkikisnya penggunaan bahasa Dompu, walau masih bisa ditemukan beberapa suku kata yang diucapkan secara terbatas. Orang-orang Bima yang menetap di wilayah Dompu, baik secara langsung maupun tidak langsung memberikan dampak yang signifikan terhadap kultur Dompu. Bahkan tidak jarang sebagian orang sinis memandang bahwa Dompu tidak memiliki kultur. Dan hal ini wajar, karena di masyarakat awam cukup sulit melihat mana yang disebut budaya Dompu dan mana budaya Bima.
Dalam hal fashion saja, orang lebih familiar dengan tembe ngggoli, sarung khas Bima dari pada Muna Pa'a Dompu, meski beberapa tahun belakangan ini gencar digaungkan hingga di ruang birokrasi agar Muna Pa'a bisa lebih dikenal. Dan hal ini tidak ada yang perlu dipersalahkan, karena garis sejarahnya memang demikian adanya.
Maka generasi Dompu saat ini mesti harus melakukan upaya serius dan konsisten untuk mengangkat kembali budaya Dompu ma ntoi (budaya Dompu yang lama) agar bisa di kenal luas. Ini dilakukan agar generasi Dompu saat ini, terlebih yang hidup di masa mendatang mengetahui budaya dan sejarah daerahnya.
Maka benarlah pribahasa, kalau bukan kita siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi. Mari mengidentifikasi budaya dan sejarah Dompu, lalu kemudian ditulis dan sebar luaskan agar kelak menjadi pintu masuk bagi siapa saja dalam menyibak masa lalu di bumi Nggahi Rawi Pahu.
Kehidupan masyarakat Bima yang mendiami wilayah selatan Dompu ini seolah menegaskan dimana kaki dipijak di situ langit dijunjung. Mereka hidup berdampingan dan berbagi ruang dengan masyarakat asli Dompu, tanpa ada kanalisasi antara pendatang dan warga asli. Sebab, pada dasarnya orang Bima dan orang Dompu adalah bersaudara. Maka teruslah memupuk persaudaraan ini, tanpa harus melupakan identitas masing-masing sebagai sebuah daerah yang menjunjung tinggi nilai-nilai maja labo dahu.
Penulis: Suradin Dou Mbojo tinggal di Dompu