,

Iklan

Iklan

Bupati Matim Berkuasa Atas Segalanya

SerikatNasional
14 Sep 2022, 05:29 WIB Last Updated 2022-09-13T22:29:53Z

 


Setumpuk persoalan akhir-akhir ini, yang cendrung bergaya perang urat saraf politis seperti tuding-menuding dalam korupsi, mafia hukum, mafia pajak, dan lain sebagainya, selalu berlandaskan pada kepentingan kekuasaan.


Realitas ini jauh sebelumnya kita sudah paham bahwa semuahnya selalu dalam konteks 'kekuasaan'. Hal ini bukan menjadi kisah baru. Yang pasti bahwa bupati itu tahu betul tentang hal ini. 


Namun terlintas sebuah pertanyaan, semogga saja terlintas juga dalam pikiran bupati Matim, bahwa bagaimana ia berkuasa sepenuhnya? Pertanyaan itu, kesanya tidak cocok di tempatkan dalam era demokrasi, yang katanya pemerintahan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat lewat perwakilannya. Lalu, siapa sesungguhnya yang berkuasa?


Bagi Mosca, yang berkuasa itu adalah the ruling class. Sedangkan bagi Machiavelli, yang berkuasa adalah seorang pangeran despotik, seperti yang di tampilkan dalam the prince ( walaupun dalam bukunya, Discourses on the first Decade of livy, ia menampilkan diri sebagai Republikan). 


Lalu ada pun dari Hobes yang menegaskan bahwa yang berkuasa adalah negara absolut. Disisi lain, Jhon Stuart Mill dengan paham liberalisnya menekankan sistim minimalisasi intervensi negara dimana pemerintah di organisasikan untuk menjaga kesalahan penggunaan kekuasaan oleh individu-individu. Terlepas dari jawaban itu semuah, fokus persoalannya disini adalah pada "Siapa" yang memegang kekuasaan itu.


Bupati Matim tentu paham paham tentang anatomi kekuasaan dalam era demokrasi, kecuali kalau dia tidak mengamatinya secara cermat, dimana demokrasi sesungguhnya hanyalah baju dari tubuh kekuasan yang acapkali bekerja dalam kerangka  "majoriti is always ruled by the minority" bupati barangkali tidak akan secara jujur mengatakan bahwa Machiavelli sesungguhnya benar jika politik seringkali berurusan perebutan kekuasan. 


Demikian pun dalam fakta sejarah, bupati tidak akan membongkar secara terbuka bahwa urusan kekuasan dalam demokrasi tidak ada bedanya dengan perseteruan yang di alami oleh Cicero, Caesar, Pompeius, Crassus, Cato, Catilina, dan Clodius dalam kekaisaran Romawi kuno. Dimana garis batas antara persekutuan dan penghianatan, kekejaman dan rayuan, kejeniusan dan kebusukan, sangat tipis dan hampir tak bersekat. Seorang bupati pasti memahami semuah hal tersebut. 


Sebuah miskin klasik mengatakan bahwa api di ketahui dari asapnya. Karena itu, bupati akan di ketahui dari seberapa serius ia menghentikan kekacauan politik yang ada. Sebuah kisa konspirasi pasti selalu berusaha untuk tidak meninggalkan jejak sedikitpun untuk di lacak. Menguapnya beberapa kasus besar di Manggarai Timur, seperti yang telah kita ketahui dan kita rasakan dari ketertinggalan kita di matim sekarang ini. 


Kasus-kasus itu misterius sekaligus vulgar buat masyarakat awam. Di katakan misterius Karana kasus-kasus itu menguap begitu sajah tanpa adanya penyelesaian yang jelas dan para pelakunya menghilang (bukan mati) begitu sajah. Namun, di katakan vulgar karena faktanya telah merugikan negara. Karena hal itu, dalam konteks Matim miskin ekstrim, bisa di ubah menjadi "asap tidak selalu berada ada api". Hal ini memang tidak logis, namun bagi bangsa ini hal itu bisa saja terjadi. Manggarai timur memang aneh tetapi lucu, kata orang. 


Satu hal yang jelas, untuk hal ini bupati Matim mestinya harus memasang telinga, bahwa masyarakat bertanya? Dimanakah pemimpin kita? Pertanyaan ini secara imlisit menegaskan posisi presiden yang harus menentukan jalan keluar bagi persoalan-persoalan itu. Yang menjadi persoalan, entah karena permainan konspirasi atau karena kemarin kekuasan seorang pemimpin, posis bupati berada pada tindakan "Menangkap Angin" yang bagi sebagian orang membacanya dalam beberapa interpretasi. 


Pertama, bupati ikut terlibat dalam konspirasi, penghianatan sehingga ia tidak berminat menuntaskan kasus-kasus itu. 


Kedua, bupati tidak berkutik terhadap kegeniusan eksponen-eksponen lain sehingga ia terpaksa menyerah tanpa syarat kepad mereka. 


Ketiga, bupati di genggam oleh elit-elit ekonomi sehingga ia hanya muncul sebagai boneka kepentingan mereka (puppeteerisme). 


By: Irenius Darson (Kader GMNI Cabang Manggarai)

RECENT POSTS