,

Iklan

Iklan

Membaca Fenomena Hijrah

SerikatNasional
11 Agu 2021, 10:50 WIB Last Updated 2021-08-11T07:21:24Z

Oleh : Zubairi El-Karim *)


Hijrah berasal dari kata 'Hajara' yang berarti memutuskan atau meninggalkan. Hijrah yaitu migrasi dari satu tempat ke tempat lain untuk memperjuangkan keyakinan atau mendapatkan keamanan. 


Hijrah dalm tonggak sejarah kenabian pertama kali dilakukan oleh warga muslim pindah dari Makkah ke  Habasyah Ethiopia. Tepatnya ke Kerajaan Aksum. Raja Aksum bernama Armah bergelar Najasyi atau Nagus yang sangat terkenal keadilannya dan tak menzalimi siapapun. 


Sebanyak 16 orang sahabat rosulillah pindah disusul gelombang kedua sebanyak 80 orang. Di negeri kristen Habasyah ini justru umat Islam Makkah mendapatkan keamanan dan perlindungan. 


Dari sini maka makna hijrah tidak melulu diartikan pindah dari negeri kafir ke negara Islam tapi bisa juga berlaku sebaliknya. 


Cerita hijrah yang pertama ini pula melahirkan pengertian hijrah yang esensial yaitu pindah untuk mendapatkan perlidungan keyakinan dan kebebasan beragama dari kezaliman qabilah. Tak perduli perpindahan itu ke negeri kafir atau muslim. Sisi perlindungannya lebih mengemuka maknanya.


Hijrah kedua adalah pindahnya nabi dari Makkah ke Yatsrib pada tahun 622 M. Kota Yatsrib ini kemudian dikenal dengan sebutan Madinah yaitu kota yang beradab. Pada saat itu, bukan hanya sahabat yang pindah, Nabi Muhammad sendiri juga ikut pindah bahkan memelopori kepindahan kaumnya. Kenapa? Karena tekanan fisik dan teror bertubi-tubi yang dialami diri baginda rosulillah dan kaum muslimin yang semakin keras. 


Islam yang dibawa rosulillah dianggap agama yang merusak struktur keyakinan bangsa arab saat itu. Sehingga nabi terpaksa hijrah sebagai usaha untuk penyelamatan diri, menyelamatkan agama dan keyakinan yang benar.


Saat hijrah kaum Muhajirin dan Ansor dua kelompok yang dikenang dalam sejarah. Siapa mereka?. Secara literal orang Makkah yang pindah agama menjadi muslim dan ikut pindah tempat disebut Muhajirin. Sementara orang pribumi Yatsrib yang beragama Islam dan menyambut datangnya kaum imigran dari Makkah disebut Ansor. Ansor sebutan untuk perlindungan guna menolong saudaranya seiman.


Dalam pengertian umum, hijrah sendiri dibagi dua, 'Makani dan Maknawi'. Hijrah Makani adalah hijrah dalam arti berpindah tempat, sementara  Hijrah Maknawi bukan dalam arti berpindah tempat melainkan hijrah dalam arti merubah prilaku dari yang asalnya jelek menjadi baik.


Berkaitan Hijrah Maknawi inilah, belakangan ada fenomina penyebutan  Hijrah yang populer bukan hanya dikenal saat momentum peringatan tahun baru hijriyah saja, melainkan menjadi istilah perubahan prilaku yang sudah menjadi leksikon masyarakat umum dalam perbincangan media sosial. 


Istilah Hijrah yang asalnya sangat melekat dengan istilah bahasa agama, dalam perkembangannya dibajak secara terminologis sebagai gerakan ideologis politis bagi kelompok yang berislam dengan gaya baru. 


Karena hijrah menjadi fenomina gaya baru itulah maka hijrah lalu didefinisikan ulang oleh para ilmuan untuk menggambarkan perpindahan yang bukan hanya pindah tempat, tapi pindah dari satu prilaku lama ke prilaku baru, dari tradisi lama ke tradisi baru. Bahkan hijrah telah menjelma menjadi tren keagamaan dan gaya hidup yang makin modern. 


Sayangnya, fenomina baru hijrah ini, bukanlah cara beragama yang padat isi, melainkan hanya perpindahan prilaku pada kulit luarnya saja, seperti memanjangkan jenggot, menghitamkan dahi, memakai celana cingkrang. Yang perempuan memakai jilbab yang asalnya sebahu menjadi lebih ketat, lebar dan panjang. Bahkan ada yang jauh lebih ekstrem yaitu memakai cadar. Bukan perpindahan gaya berfikir yang lebih substansial dan pengamalan ajaran agama yang lebih produktif dan membumi. 


Fenomina hijrah gaya baru ini dijalani oleh kalangan muda terutama muslim perkotaan yang sejak kecil belum menjalani tradisi keislaman dengan ketat, setelah remaja dalam pencarian jati diri tiba-tiba menemukan cara beragama yang instan, nasuklah ia melalui pintu masuk hijrah dengan segala keinstanannya.


Adapun gaya hijrah bagi orang yang sudah berumur, lebih dimaknai meninggalkan kemapanan hidup, menjauhi dunia mencari sorga diusia senja. Saat bertemu dengan cara beragama yang dangkal maka ikutlah dengan gaya hijrahnya yang instan pula. 


Tak jarang juga antar anak dan orang tua gaya hijrahnya tidak sama. Anak berlari sendiri dengan model hijrahnya meninggalkan tradisi keagamaan orang tua yang dianggap jumud dan tradisional. Sementarab orang tua diam tak bergerak meninggalkan semua kemewahan duniawi menuju sorga dalam perasaan.


Ditengah itu semua, ada prilaku hijrah yang semakin lama semakin berekpresi radikal. Memang ada pula yang menemukan titik balik, menemukan lompatan moderasi, tapi tidak sedikit yang bahkan bergerak ke arah titik ekstrem yang berseberangan. 


Ada model hijrah yang hanya bertumpu pada kesalehan lahiriyah saja. Dirinya merasa lebih baik dari orang lain dan bahkan menyalahkan yang lain yang tidak seperti dirinya. Ia kerap mengafirkan, membidahkan dan menghujat gaya hidup orang lain yang dianggap konservatif dan tradisional.


Dari fenomina hijrah inilah kita saksikan lahirnya komunitas-komunitas hijrah dimana-mana. Semula terlihat baik, tapi makin lama makin terjebak pada gaya hidup yang ekstrem dan skriptual. 


Komunitas ini lebih suka pada ajaran trans nasional, daripada budaya keilmuan pesantren. Hadis dan ayat diterjemahkan leterlek hitam putih. Budaya, kesenian, musik, makanan, tubuh, dan lokalitas keagamaan difatwa halal-haram. Bahkan rumusan negara ditafsirkan menjadi sesuatu yang buruk dan menyimpang. Pecandu hijrah ini juga kerapkali mengharamkan salawat, tahlil, rokok, dan musik. 


Tak hanya sampai disitu, dari komunitas hijrah ini lalu berkembang prilaku jihad karena maknanya beririsan. Jihad dalam pandangan mereka memiliki arti melakukan perlawanan keras pada non muslim. Non muslim yang hidup di Indonesia yang hidup berdampingan secara damai seperti dzimmi Madinah, lalu dipersepsikan seperti harbi Makkah yang pantas diperangi dan halal darahnya. Akibatnya timbul permusuhan dan perlawanan di negeri NKRI.


Saat hijrah ke Madinah, nabi merangkul semua golongan tanpa memandang ras dan agamanya. Hijrah semestinya menjadi momentum merangkul  keragaman keyakinan dan suku, dan belajar untuk saling menghargai. 


Di Madinah nabi tidak mendirikan negara Islam tapi mendirikan negara madinah, negara yang berperadaban. Semangat nasionalisme yang dibangun rasulillah karena melihat umat yang pluralis. Dari hijrah yang sangat pluralis ini kelak kita melihat peristiwa menakjubkan 'Fathu Makkah' yang sangat fenominal, penaklukan tanpa pertumpahan darah. 


Apa tujuan besar dan panjangnya? Hijrah yang menghargai pluralisme dan kehidupan madinah yang sangat humanis, maka setelah Fathu Makkah tak dikenal lagi kata hijrah. Kenapa? Karena komunitas muslim sudah aman dari kafir harbi, kehidupan sudah berjalan normal semua memeluk Islam dengan penuh cinta damai. 


Jika ditarik ke Indonesia, apa benang merahnya. Hijrah adalah momentum untuk mengamankan semua penghuninya dari sekat-sekat primordialisme dan etnosentrisme, dan menjauhkan cara berislam yang instan yang hanya bertumpu pada istilah lahiriyah saja, tidak menghujam pada keyakinan yang dalam. Kalau sudah aman tak perlu lagi istilah hijrah dalam makna politis.


Hijrah lebih tepat jika dimaknai pergerakan. Bergerak adalah dinamika kehidupan. Kalau kehidupan ingin baik maka bergeraklah jangan diam. Hijrah dalam bentuk multidimensi bisa juga dimaknai hijrah pemikiran, ekonomi, pengetahuan dari yang buruk ke yang baik, dari yang baik kearah yang lebih baik, tapi tetap dalam konteks kesadaran yang dalam. 


Dalam pergerakan tak ada puncak kebaikan, karena kebaikan terus menerus bergulir sampai menemukan kesempurnaan. Apa kesempurnaan itu? Yaitu akhlaq manusia itu sendiri yang selalu berusaha meniru akhlaq Allah yang rahman dan rahim. Akhlaq Allah itu sepenuhnya dicontohkan oleh pribadi rosulillah SAW, yang senantiasa memandang umatnya dengan mata kasih sayang.


*). Penulis Pegiat NU dan KIM serta Dosen Stidar Sumenep.

RECENT POSTS