Iklan

https://www.serikatnasional.id/2024/10/blog-post.html

Iklan

,

Iklan

Kementrian ATR/BPN Diminta Serius Ungkap Oknum BPN Makasar Yang Terindikasi Jadi Mafia Tanah

SerikatNasional
10 Nov 2025, 05:11 WIB Last Updated 2025-11-09T23:05:12Z

 


Jakarta, Serikatnasional.id  — Sengketa tanah yang menimpa Wakil Presiden Republik Indonesia (Wapres RI) ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla (JK), di kawasan Metro Tanjung Bunga, Makassar, dinilai menjadi bukti nyata bahwa kekuatan oligarki telah menundukkan aparat penegak hukum di Indonesia.


Aktivis dan korban mafia tanah, Ilham Salam, menilai kasus tersebut merupakan cerminan bahwa kekuasaan ekonomi dan politik telah menguasai lembaga hukum dan pemerintahan.


“Perampokan tanah Pak JK adalah proklamasi oligarki bahwa mereka sudah menguasai Indonesia dan bebas melakukan apa pun yang mereka mau,” tegas Ilham Salam.


Ilham menjelaskan, kasus yang menimpa JK hanyalah satu dari banyak contoh dominasi kelompok berkuasa atas hukum. Ia menyebut bahwa pengambilalihan tanah JK di Makassar dilakukan oleh anak perusahaan Lippo, yang disebutnya memiliki jaringan kuat dalam struktur ekonomi dan politik nasional.


“Begitu kuatnya kekuasaan oligarki menguasai penegak hukum. Yang ‘mengambil’ tanah Pak JK di Makassar adalah anak perusahaan Lippo. Kita tahu siapa Lippo dan siapa saja komisarisnya,” tambahnya.


Ilham menegaskan, kasus serupa bukan hanya dialami oleh tokoh nasional, tetapi juga oleh rakyat kecil yang sering kali tak berdaya menghadapi mafia tanah dan aparat yang terlibat.


Ia mencontohkan kasus Ibu Yatmi Bin Embing di Tangerang Selatan, yang tanahnya dirampas dan makam wakaf keluarganya dibongkar serta dipindahkan oleh pengembang tanpa sepengetahuan ahli waris.


Selain itu, dirinya sendiri juga menjadi korban. Ilham Salam, salah satu ahli waris dari almarhum Abdul Salam Pasanrangi, masih berjuang mencari keadilan atas tanah keluarga seluas 3.863 meter persegi di Kecamatan Panakkukang, Lingkungan Karuwisi, Kota Makassar, Sulawesi Selatan.


Tanah tersebut memiliki sertifikat hak milik (SHM) tahun 1974 atas nama Abdul Salam Pasanrangi, namun secara tiba-tiba ikut dieksekusi dalam perkara antara Harmunis T. melawan Manra dkk, meskipun keluarga Abdul Salam tidak pernah terlibat dalam sengketa tersebut.


“Kami tidak pernah dilibatkan ataupun dihubungi oleh pihak mana pun terkait perkara itu, tetapi tanah orang tua kami justru ikut dieksekusi. Kami merasa sangat dirugikan dan kecewa dengan keputusan pengadilan,” jelas Ilham Salam.


Menurut Ilham, putusan Mahkamah Agung (MA) sudah inkrah, dan pengadilan telah memerintahkan BPN Makassar serta Kantor Agraria untuk mengembalikan batas tanah sesuai sertifikat asli. Namun hingga kini, perintah tersebut belum dilaksanakan secara nyata oleh BPN.


“Kami sudah berusaha mencari keadilan melalui jalur hukum, tetapi hingga kini belum ada tindak lanjut yang pasti,” ujarnya.


Ia juga menyebut, dalam banyak kasus, oknum-oknum yang seharusnya berjuang melawan mafia tanah justru berkolaborasi dengan Kementerian ATR/BPN, kejaksaan, kepolisian, dan pengadilan.


Usai menyerahkan surat ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) di Jakarta, Ilham menegaskan bahwa dirinya telah berjuang selama 26 tahun mencari keadilan.


“Saya berperkara selama 26 tahun, dan saat ini saya kembali ke Jakarta ke Kementerian ATR/BPN memberikan surat agar kementerian mau menangani secara serius kasus yang saya hadapi,” ujarnya.


Ia menyoroti sikap Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, yang dinilainya hanya merespons kasus milik pejabat tinggi, sementara rakyat kecil terabaikan.


“Nusron jangan hanya merespon mantan pejabat saja, tapi rakyat jelata seperti saya ia abaikan,” ungkap Ilham dengan nada kecewa.



Menurutnya, kasus yang dialami Jusuf Kalla justru menjadi sorotan publik karena melibatkan tokoh besar. Namun, di sisi lain, ribuan rakyat kecil yang menjadi korban mafia tanah selama bertahun-tahun tidak mendapat perhatian serius.


“Mungkin jika kasus tersebut tidak terjadi kepada seorang Jusuf Kalla, tidak akan menarik perhatian masyarakat,” ujarnya.


Ilham menilai, setelah kasus ini menjadi perhatian publik, Kementerian ATR/BPN akhirnya angkat bicara. Ia berharap momentum ini bisa menjadi awal pembenahan sistem agraria dan pemberantasan mafia tanah di Indonesia.



“Sudah 26 tahun kami menunggu hak kami dikembalikan. Kami hanya ingin keadilan ditegakkan,” tegasnya.



Ia juga menyampaikan bahwa pihaknya telah mengirim surat langsung kepada Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, agar pemerintah turun tangan dan memastikan penegakan hukum berjalan tanpa pandang bulu.


Kasus keluarga Abdul Salam Pasanrangi menjadi contoh nyata lemahnya perlindungan hukum atas hak kepemilikan tanah, terutama bagi masyarakat kecil. Fenomena serupa banyak terjadi di berbagai daerah dan kerap menimpa pemilik sah yang memiliki kemampuan terbatas untuk menghadapi mafia tanah dan proses hukum yang berlarut-larut.


“Kami hanya ingin pemerintah, khususnya Presiden dan Kementerian ATR/BPN, menindaklanjuti kasus ini dengan serius, serta menelusuri dugaan keterlibatan oknum BPN Makassar,” tutup Ilham Salam.


(D. Wahyudi)