Iklan

https://www.serikatnasional.id/2024/10/blog-post.html

Iklan

,

Iklan

Hari Tani : Petani untuk Indonesia Bukan untuk Oligarki

SerikatNasional
23 Sep 2025, 22:00 WIB Last Updated 2025-09-23T15:00:00Z


Serikatnasional.id - Setiap 24 September, negara rutin mengulang jargon: “Petani adalah pahlawan bangsa.” Namun, jika benar pahlawan, mengapa mereka terus diperlakukan sebagai korban? Realitas di lapangan jauh dari penghormatan. Petani gurem kian terpinggirkan, tanah subur makin sempit, hasil panen makin merugi, sementara kebijakan negara lebih akrab pada kepentingan korporasi dan tengkulak.


Hari Tani seharusnya menjadi ruang refleksi, bukan pesta seremonial. Inilah saat paling tepat untuk menelanjangi dua persoalan mendasar yang terus mencekik petani: deforestasi akibat ekspansi sawit dan ketidakadilan pascapanen yang diperparah kebijakan PPN pertanian.

- *Hutan Hilang, Pangan Tergusur*


Deforestasi di Indonesia melonjak tajam pada 2024. Yayasan Madani Berkelanjutan mencatat hilangnya ±206 ribu hektar hutan alam, naik 53 persen dibanding tahun sebelumnya. Dari jumlah itu, 51 ribu hektar hilang akibat ekspansi kelapa sawit. Sementara Kementerian Kehutanan dan BRIN melaporkan deforestasi netto sebesar 175,4 ribu hektar.


Angka ini bukan sekadar statistik. Ia adalah cermin dari tragedi pangan kita. Hilangnya hutan berarti hilangnya tanah garapan, sumber air, bahkan identitas petani kecil. Ironis, ketika pemerintah mengumandangkan kedaulatan pangan, justru lahan pangan produktif dikorbankan untuk kepentingan komoditas ekspor. Hutan lenyap, sawit berjaya, sementara petani tergusur.


Panen Raya, Kerugian Raya


Masalah pascapanen tak kalah mencolok. Secara resmi, Nilai Tukar Petani (NTP) disebut naik—Maret 2025 mencapai 124,48. Tetapi April langsung melorot ke 121,75.Di balik angka itu, harga di tingkat petani terus merosot. Oktober 2024, harga gabah kering panen turun 0,85 persen, beras premium di penggilingan turun 0,11 persen. November 2024, tren serupa: gabah jatuh 1,86 persen, beras premium susut 1,15 persen.


Artinya sederhana: data boleh terlihat membaik, tapi isi kantong petani tetap menipis. Tengkulak dan rantai distribusi panjang masih menjadi pemegang kendali, bukan petani itu sendiri.


PPN Pertanian: Pungutan di Atas Luka


Di tengah keterpurukan itu, kebijakan fiskal justru menambah beban. Sejak 2022, hasil pertanian tertentu dikenai *PPN  11 persen lebih efektif, untuk harga jual. tarif yang sudah naik menjadi 12 persen, seiring kebijakan PPN umum 12 persen. Memang ada fasilitas “nilai lain” yang memungkinkan tarif hanya 1 persen?* tetapi syarat administratifnya sulit diakses petani kecil.


Maka, pungutan ini ibarat garam di atas luka. Petani yang sudah kalah dalam harga dan akses pasar kini dituntut pula menyetor pajak. Negara seolah lupa: keberadaan petani bukan sekadar penyumbang pendapatan fiskal, melainkan penopang utama ketahanan pangan bangsa.

---

Dari Seremonial ke Kebijakan Nyata

Saya M Nadhim Ardiansyah Direktur Pertanian & Energi BEM PTNU Se Nusantara menegaskan Hari Tani bukan panggung untuk pidato kosong. Ia seharusnya momentum politik pangan: 

  1. Meminta pemerintah menghentikan deforestasi yang merampas lahan rakyat(petani),
  2. Menegaskan agar pemerintah mereformasi tata niaga pascapanen agar harga adil di tingkat petani
  3. Menghimbau pemerintah meninjau ulang kebijakan PPN agar tidak menambah beban petani.


Petani tidak butuh julukan “pahlawan” yang hanya hidup dalam baliho dan pidato pejabat. Mereka butuh tanah yang terlindungi, harga panen yang layak, dan kebijakan negara yang berpihak. Tanpa itu semua, Hari Tani hanyalah upacara hampa—peringatan atas bagaimana bangsa ini pandai memberi gelar, tetapi gagal memberi keadilan.