Iklan

https://www.serikatnasional.id/2024/10/blog-post.html

Iklan

,

Iklan

Halaqah warga Nahdliyyin Sumenep, Menimbang Tambang Perspektif Fiqh dan Sosial Ekologi

SerikatNasional
4 Jul 2024, 23:10 WIB Last Updated 2024-07-04T16:10:47Z


Sumenep (Serikatnasional.id),- Warga nahdiyin yang tergabung dalam Forum Nahdliyin Hijau (FNH) Sumenep menggelar Halaqah terkait pertambangan di Aula Mini Universitas Annuqayah, Guluk-Guluk, Kamis (4/7/2024).


Halaqah ini diinisiasi oleh Yayasan Sataretanan Sumenep Berdaya bersama sejumlah komunitas dan organisasi, seperti Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) Sumenep, B.A.T.A.N, Observe Madura, Gusdurian Sumenep, dan Berkah Bumi.


Kegiatan yang diikuti oleh sejumlah kiai, aktivis dan warga nahdiyin di Sumenep ini bertajuk “Menimbang Tambang Perspektif Fiqh dan Sosial Ekologi”.


Pembina Yayasan Sataretanan Sumenep Berdaya KH. Mohammad Shalahuddin A. Warits dalam sambutannya mengatakan bahwa masalah tambang baik di lokal maupun nasional harus diperhatikan secara serius.


“Diskusi ini merupakan sikap kritis kita terhadap PBNU yang kompromi terhadap pengelolaan tambang,” ucap Pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah Daerah Lubangsa itu, Kamis (4/7/2024).


Pria yang akrab disapa Ra Mamak ini menuturkan bahwa konsesi tambang yang didapatkan PBNU memang bisa jadi strategi konservasi.


“Namun yang dikhawatirkan, dengan konsesi ini kita malah dijual. Dan kita hanya menjadi agen kerusakan,” imbuhnya.


Ra Mamak mengajak para kiai yang hadir dalam Halaqah ini untuk tegas dan menyampaikan aspirasinya kepada PBNU.


“Kita tidak boleh lagi bermain-main dan ragu-ragu dalam memberikan masukan kepada PBNU. Karena kita yang hadir di sini semuanya kiai NU dan dalam ekosistem pesantren,” bebernya.


Untuk itu, Ra Mamak meminta, kiai NU harus terus bersuara dalam menyikapi konsesi tambang yang sudah dikantongi PBNU.


“Jika ini tidak kita lakukan, maka pelayanan NU menjadi tidak eksistensial lagi. Karena kita yang seharusnya berada di garda terdepan dalam mendidik masyarakat,” paparnya.


Dia berharap, “Merawat Jagat, Membangun Peradaban” tidak hanya menjadi jargon PBNU di awang-awang.


“Kita harus punya isi dan materi dari apa yang kita gaungkan selama ini. Sehingga kita tidak menjadi bully-an,” pungkasnya.


Diketahui, hadir sebagai pemateri dalam Halaqah ini, Dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) Moh. Shohibuddin dan Peneliti Sajogyo Institut Eko Cahyono.


Dari sekian pemateri dan para tokoh yang hadir sepakat bahwa dampak logis dari mekanisme pertambangan hendaknya diketuk-tularkan hingga menjadi kesadaran kolektif masyarakat. Dengan harapan, kita semua bisa saling menjaga dalam memperlambat pesatnya kerusakan ekosistem dan lingkungan kita.


Menurut Eko Cahyono selaku peneliti yang menjadi pemateri pada halaqah ini, "belum ditemukan adanya penambangan yang berdampak baik terhadap kesejahteraan, kesehatan masyarakat dan lingkungan. Yang sering kita temukan adalah kehidupan yang semakin merana, terbuang dari habitat awal, kehilangan sejarah, budaya dan bahkan kehilangan spiritualitas hidup yang selama ini menjadi sumber nalar masyarakat.


Sementara, Bagi Moh. Shohibuddin, Multi dimensi dampak (mafsadat) tambang telah jelas dan empirik (nyata), sedangkan "maslahat" nya, masih spekulatif (bisa iya bisa tidak)


Oleh karena itu, komunitas keagamaan jangan sampai menjadikan narasi agama sebagai alasan pembenar bagi kerja-kerja dunia yang cenderung destruktif terhadap mekanisme lingkungan yang memiliki logika tersendiri untuk berubah. Karena bisa saja agama akan menjadi anugerah atau bencana. Dalam interaksi sosial, agama sangat ditentukan bagaimana ia diperlakukan oleh para penganutnya, difahami bagaimana, digunakan untuk apa, dan yang terpenting, untuk membela siapa?.