,

Iklan

Iklan

Ritus "Tiba Meka" Orang Manggarai

@SerikatNasional
28 Mar 2022, 13:44 WIB Last Updated 2022-03-28T06:46:45Z


Masyarakat Manggarai memiliki kebiasaan yang khas dalam tata cara penyambutan tamu yang berperan untuk mempererat persaudaraan. Tata cara penerimaan tamu ini dalam tradisi orang Manggarai disebut ritus tiba meka. Meka yang disambut dengan ritus ini biasanya berlaku bagi tokoh pemerintah, tokoh masyarakat, dan tokoh agama. 


Dalam penyambutannya diwakilkan oleh tua adat yang disebut sebagai laro jaong dan letang temba yaitu sebagai juru bicara dan perantara atau yang mewakili warga yang ada dalam satu kampung dengan tamu yang datang. 


Ada enam tahapan tata cara tiba meka orang Manggarai yaitu reis tiba di'a (penyambutan dengan baik); raes agu raos cama laing (berbagi suka cita dan kebersamaan); pandeng cepa (kebersamaan jasmani dan rohani); inung waekolang (minum bersama sebagai tanda keakraban); tegi reweng (meminta peneguhan/motivasi); dan wali di'a (mohon keselamatan untuk tamu). Sementara, nilai-nilai karakter yang terkandung dalam acara ritus tiba meka adalah keterbukaan, keakraban, kerendahan hati, kehormatan, tanggung jawab, kepedulian, dan sopan santun.

  

Manggarai merupakan sebuah wilayah di bagian barat pulau Flores. Daerah ini terdiri dari tiga kabupaten yaitu kabupaten Manggarai yang beribukota di Ruteng, kabupaten Manggarai Barat dengan ibukota Labuan Bajo, dan kabupaten Manggarai Timur ibukotanya Borong. 


Manggarai memiliki tradisi khas dalam penyambutan meka (tamu). Tradisi tiba meka sudah ada sejak peradaban kehidupan masyarakat Manggarai yang bertujuan menghargai sesama. Dalam konteks budaya Manggarai,  meka merupakan tradisi yang dilakukan secara turun temurun yang merupakan bagian dari kearifan lokal. Kebijaksanaan berupa produk relasionalitas manusia dengan alam yang merupakan serangkaian relasi sehari-hari manusia yang berlanjut dalam cetuadaran yang mendalam.

     

Kajian tentang ritual tiba meka orang Manggarai sebagai bentuk tata cara penyambutan tamu yang mengunjungi suatu kampung atau wilayah atau instansi tertetu dengan tradisi yang berlaku umum bagi masyarakat Manggarai. Tiba meka tidak terlepas dari nilai-nilai karakter yang dianut oleh masyarakat Manggarai dalam sikap dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. 


Makna Tiba Meka


Makna tiba meka berasal dari dua kata yaitu tiba dan meka. Tiba berarti terima, menadah, tangkis, setuju atau menyambut sedangkan meka berarti tamu. Jadi, tiba meka berarti menerima atau menyambut tamu. Anak yang baru lahir disebut meka weru (tamu yang baru dilahirkan). 


Dalam kehidupan sehari-hari orang Manggarai, ada beberapa maksud kedatangan tamu dalam sebuah kampung atau beo.


Pertama, meka lako lejong, meka lako liba (tamu yang secara kebetulan mampir di suatu kampung) yaitu mereka yang melintasi sebuah kampung untuk menjual barang-barang dagangan (meka ata pika barang), untuk mencari kuda atau kerbau (meka ata kawe kaba agu jarang), dan untuk sekadar minum (meka ata masa wae).


Kedua, meka ata poli reke be olon (tamu yang terlebih dahulu berjanji untuk datang ke suatu kampung). Meka jenis kedua ini adalah mereka yang datang ke sebuah kampung karena ada keperluan seperti tamu pemerintah, tokoh agama, atau lembaga sosial kemasyarakatan yang memang datang karena ada urusan yang terkait dengan urusan keluarga atau kampung yang bersangkutan. 


Ketiga, meka lejong toe reke (tamu yang datang tanpa pemberitahuan) seperti mereka yang menjadi petualang atau sekadar rekreasi. 


Dari tiga jenis tamu berdasarkan tujuannya di atas, yang biasanya diterima secara adat adalah meka ata poli reke be olon (tamu yang sudah berjanji untuk datang ke suatu kampung/beo). Tamu yang termasuk dalam bagian ini pun, dikelompokkan lagi ke dalam beberapa jenis.


Pertama, meka ata undang lite (tamu yang diundang) dalam upacara adat seperti penti (syukur atas panen), randang, caci wagal (syukuran perkawinan), cear cumpe (upacara pemberian nama), dan sebagainya. 


Kedua, meka ata manga perlu agu ite (tamu yang ada perlu dengan kita), misalnya meka mai undang ite kudut ikut acara dise (tamu yang datang untuk mengundang kita untuk menghadiri acara mereka), anak rona mai sida (keluarga laki-laki pihak istrimeminta dukungan dan doa ), anak wina lamar anak dite (keluarga yang datang melamar anak perempuan kita) dan sebagainya. 


Ketiga, meka pemerintah atau tokoh agama dan masyarakat. Biasanya mereka ini datang untuk memberi dukungan material maupun spiritual demi kemajuan sebuah kampung. 


Tata Cara Tiba Meka


Dalam penyambutan tamu (tiba meka) orang Manggarai melalui prosedur-prosedur tertentu. Adapun tata cara tiba meka yang digunakan hingga saat ini.


1. Reis tiba (penyambutan dengan baik). Dalam bagian Reis tiba  ini, ada tiga hal yang kiranya perlu diperhatikan. 


Pertama, sapaan pembukaan. Bagian ini disebut sebagai pengantar untuk membuka acara penerimaan tamu. Pengantar ini disampaikan oleh salah satu perwakilan dari anggota yang mendiami sebuah kampung. Biasanya dipilih dari salah satu anggota kampung yang bisa menjadi penutur adat atau pemuka masyarakat yang berfungsi sebagai laro jaong (juru bicara) dan letang temba (mewakili) warga kampug. 


Kedua, ungkapan kegembiraan. Bagian ini menunjukkan kegembiraan warga kampung karena mereka melihat tamu telah datang. Ungkapan kegembiraan (naka) itu diwakili oleh penutur adat dengan kata kapu (memangku). 


Selanjutnya penutur adat mengungkapkan kekaguman kepada sang tamu yang bersedia datang ke sebuah kampung dengan penuh perjuangan. Dia harus melewati sungai, gunung dan lembah. Hal ini menunjukkan cinta dan perhatian sang tamu terhadap semua warga yang mendiami sebuah kampung. 


Ketiga, Penutup. Dalam bagian ini, tamu diberi ayam jantan berwarna putih dan tuak (dalam kondisi tertentu bisa menggunakan bir) sebagai puncak kegembiraan dari warga kampung yang diwakili oleh penutur adat sebagai tanda kehormatan. Di sini tuak menjadi lambang penyerahan seluruh harapan kepada tamu yang datang untuk bergembira bersama semua warga kampung.


2. Raes agu raos cama laing (berbagi suka cita dan kebersamaan)

Dalam bagian ini ada tiga bagian penting yang kiranya perlu diperhatikan. 


Pertama, sapaan. Dalam bagian ini penutur adat menyebut tamu yang datang dengan ema. Hal ini tentu menandakan bahwa budaya patriarkal sangat kental dalam budaya Manggarai. 


Penutur adat juga menunjukkan kerendahan hati dengan melukiskan situasi kampung yang dihuni oleh manusia yang tidak memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam.


Kedua, suasana keakraban. Dalam bagian ini, penutur adat menampilkan suasana yang melukiskan keakraban sang tamu dengan semua warga kampung. Suasana keakraban ini sangat nampak dalam kesatuan warga kampung untuk berkumpul (padir wai rentu sai) menyambut tamu yang datang. 


Ketiga, simbol penerimaan. Dalam bagian ini, penutur adat memberikan tuak reis (tuak penyambutan) sebagai ajakan bagi tamu untuk menjadi bagian dari warga kampung dan menikmati suasana kegembiraaan.


3. Pandeng cepa (kebersamaan jasmani dan rohani) 

Acara pandeng cepa lebih pada tindakan pemberian sirih pinang tanpa ada pernyataan formal adat. Kebiasaan orang Manggarai, yang berperan untuk memberikan siri pinang adalah kaum perempuan. 


Meskipun tanpa pernyataan adat, pandeng cepa sarat dengan makna simbolis. Dalam adat Manggarai setelah menyapa tamu, pertama-tama diberikan sirih pinang. Sirih pinang dipakai dalam kebudayaan orang Manggarai sebagai reis.


4. Inung Waekolang (Minum bersama sebagai tanda keakraban)

Setelah pemberian siri pinang, baru disuguhkan wae kolang (air panas) sebagai minuman pembuka. Inung wae kolang merupakan kebiasaan penting orang Manggarai.menjadi bagian dari warga kampung dan menikmati suasana kegembiraaan.


Setiap kali orang bertamu, selalu disuguhkan minuman. Haram sifatnya kalau tamu tidak disuguhkan wae kolang. Wae kolang (air panas) sesuai dengan sifatnya di mana air yang disuguhkan bukan air dingin, melainkan air yang panas. Meskipun, orang sudah minum air dingin karena kehausan, itu belum cukup dan tidak menggambarklan kebiasaan orang Manggarai. 


Air panas merupakan bagian dari kebiasaan penerimaan tamu. Bukan hanya air  disuguhkan, melainkan juga makanan ringan, bahkan juga nasi, sayur, dan lauk. Artinya menu yang disuguhkan ketika orang baru tiba, berupa makanan dan minuman sebagai menu pembuka disebut dengan wae kolang.


5. Tegi reweng (meminta peneguhan/motivasi)

Dalam bagian ini, ada tiga hal yang kiranya perlu diperhatikan. 


Pertama, sapaan. Seruan pembukaan (yo ema) merupakan sapaan terhormat terhadap tamu yang datang. Seruan ini di satu sisi menunjukan kebesaran tamu yang datang dalam kemegahan dan kekuasaan.


Kedua, pengakuan. Pada bagian ini penutur adat menyampaikan dengan terus terang situasi aktual yang dihadapi oleh warga kampung yaitu mereka tidak bisa membaca surat (toe nganceng baca surak) dan malas (ngonde) untuk bekerja.

 

Ketiga, penutup. Bagian ini penutur adat ingin menyampaikan kepada sang tamu agar bisa memberi beberapa pandangan positif demi kemajuan sebuah kampung. Sebagai penguat permintaan, penutur adat memberikan wejangan tuak kepada sang tamu.


6. Wali di'a  (mohon keselamatan untuk tamu)

Dalam bagian ini, ada empat hal yang perlu diperhatikan. 


Pertama, sapaan terima kasih. Dalam bagian ini, penutur adat menyapa sang tamu dengan penuh hormat. Penutur adat yang mewakili warga kampung menyampaikan ucapan terima kasih karena sang tamu bersedia mengunjungi dan bergembira bersama mereka. 


Kedua, harapan. Dalam bagian ini penutur adat mengharapkan agar tamu diberi kelancaran dalam usaha dan umur panjang sehingga bisa berjumpa kembali dengan warga kampung. 


Ketiga, permohonan maaf. Dalam bagian ini penutur adat menyampaikan permohonan maaf kepada sang tamu. Isinya adalah jika ada kata-kata dan tindakan yang salah mohon tidak diingat dan disimpan di dalam hati. 


Keempat, penutup. Dalam bagian ini penutur adat memberi penguat terhadap apa yang dikatakannya dengan tuak. Namun bukan tuak biasa tetapi tuak baro sala (tuak untuk minta dimaafkan). Dengan adanya maaf warga kampung terus terus mengenang saat saat kegembiraan bersama sang tamu dan nasihat-nasihat yang diberikannya.


Oleh: Fanyo Armin Fitri 

(Mahasiswa UNIKA St. Paulus Ruteng Prodi  PGSD)

RECENT POSTS