,

Iklan

Iklan

Peradaban Orang-Orang Kalah

SerikatNasional
19 Jan 2022, 10:43 WIB Last Updated 2022-01-19T03:53:38Z




SUMENEPOrang-orang yang kalah biasanya disertai dengan kehilangan kepercayaan diri. Inferiority complex! Karena hari ini bukan milik mereka lagi, maka mereka akan mencari-cari kemenangan ke masa lalu. Menceritakan kebesaran leluhur, dan mengulang-ulanginya setiap ada waktu. Mudah tersinggung, dan sarat dengan dendam.


Sebagian lainnya, mencoba mencari celah kemenangan ke masa depan. Mereka menunggu sang penyelamat, Imam Mahdi, Mesias, Satrio Piningit, dan lain-lain. Sementara itu, mereka tidak berbuat apa-apa. Karena sudah kalah, dan kehilangan keyakinan pada dirinya sendiri yang antara ada dan tiada, pada hari ini, saat ini.


Karena tidak mampu memiliki kebijaksanaan sendiri, juga tidak bisa memutuskan apa-apa, dan menyerah pada kuasa di luar dirinya, maka orang-orang yang kalah mencari sandaran pada kebijaksanaan-kebijaksanaan lama, dari orang-orang suci, nama-nama besar, dan menjadikan catatan tentang mereka sebagai patokan untuk bertindak. Segala yang di luarnya menjadi sesat. Mereka mengambil apa saja yang bisa dijangkaunya dari masa lalu itu, dan memegangnya erat-erat seperti orang yang tenggelam karena tidak bisa berenang. Akhirnya mereka menjadi sangat kaku, keras, dan bagaikan mayat hidup. Segalanya menjadi harga mati. Setiap hal didudukkan secara struktural. Mereka menjadi sangat saklek, dan berkeinginan mematikan kehidupan, sebab kekalahan telah membunuh jiwa mereka duluan. Mereka menjadi puritan, dan gagal mengenal dirinya sendiri yang diciptakan dalam keadaan hidup oleh Yang Maha Hidup. Mereka menyukai jalan pintas, dan memisahkan antara apa yang dikatakannya dengan apa yang dilakukannya.


Adapun masyarakat moderen, mereka juga sangat bersandar pada strukturalisme. Kekalahan kemanusiaan sejak Revolusi Perancis telah menghasilkan kaum laki-laki yang takluk. Mereka bertekuk lutut di bawah kehendak industri, dan keberlanjutannya ditopang dengan dongeng tentang kehidupan yang lebih baik, yang letaknya selalu di masa depan. Mereka dibuat percaya tentang doktrin “kemajuan” meskipun di depan mata mereka yang terlihat adalah kehancuran demi kehancuran. Kehidupan mereka dipersempit ke dalam ruang individualisme, dimana setiap orang hanya sendirian menghadapi kerusakan-kerusakan yang sistemik. Tetapi kampanye tentang masa depan yang adil dan makmur tetap menyusupkan mesianisme, mahdiisme, atau piningitisme dalam alam bawah sadarnya sehingga mereka menerima semuanya tanpa perlu berbuat apa-apa kecuali menggerutu dan bersungut-sungut. Sementara itu, mereka berebutan pada hal-hal pragmatis, oportunis, dan membiarkan sisi keyakinan mereka menjadi dogmatis.


Setiap hari, kaum laki-laki yang kalah berangkat dari rumahnya dengan meninggalkan istri yang duduk termangu di dekat jendela rumahnya, menatap keluar dengan pandangan yang suram. Mereka mengambil lipstik, bedak, dan make up lainnya untuk menghias dirinya, sembari menunggu suaminya mengetuk pintu setelah hari cukup senja. Yaitu seorang lelaki yang kelelahan karena telah memberikan segalanya kepada majikannya dan pekerjaannya, dengan harus mematuhi semua aturan yang dikalungkan di lehernya, seperti rantai dasi yang mencekiknya. Sebagian perempuan akhirnya memutuskan keluar rumah, dan menumbuhkan kelelakian di dalam dirinya. Mereka tidak menerima keadaan ini, dan lahirlah kemudian feminisme, yang diawali melalui ruang-ruang pekerjaan, pendidikan, dan kemudian ruang-ruang politik. Mereka juga pada akhirnya kehilangan dirinya.


Keluarga tidak lagi berisi pasangan, kolaborasi, dan kasih sayang, tapi sudah bertransformasi menjadi kompetisi. Semua harus dimulai dari perjanjian pra-nikah yang dibacakan dan dituliskan pada buku nikah, atau akte notaris. Karena orang-orang kalah memerlukan sandaran tekstual untuk setiap tindakannya. Jiwa mereka telah kehilangan kepercayaan, tanggung jawab, dan kebijaksanaan (sunnah) yang hidup. Mereka bisa bertengkar habis mengenai tafsir suatu teks, dalil, dan sejarah, tapi mereka tidak pernah berpikir melalui nuraninya sendiri. Hati mereka mengeras dan hanya bisa melihat permukaan. Bahkan lebih keras dari batu.


Orang-orang yang kalah ingin menjelaskan semuanya melalui apa yang mereka lihat di luar, dan menyembah benda-benda yang mati, mensakralkan para guru, mensucikan arwah-arwah, dan mereka gagal berguru pada yang hidup, yaitu dirinya sendiri. Mereka membekukan ajaran para ulama, para guru, dan bersamaan dengan itu, mati pulalah diri mereka, tersedot ke masa lalu, dengan meyakini ucapan-ucapan sebagai mesin percetakan. Padahal guru-guru itu bermaksud menghidupkan jiwa mereka, membebaskan mereka, dan menyuruh mereka berjalan, di jalan mereka masing-masing.


Seperti cahaya, orang-orang yang kalah malah memadamkannya. Lalu mereka berdiam dalam kegelapan, mengenang cahaya yang pernah mereka saksikan, atau menunggu cahaya yang akan datang. Lihatlah perumpamaan kunang-kunang. Mereka mencintai cahaya, tapi cahaya itu kemudian ada dalam perut mereka, dan mereka terbang membawanya kemana-mana, menjadi ribuan kerlap-kerlip yang indah dan bergairah. Di antaranya, ada yang terjun ke dalam cahaya besar, lalu mati di dalamnya. Kini antara dia dan cahaya itu, tidak lagi bernama.


Kita, seharusnya adalah para pembawa cahaya. Kita menghargai diri kita sendiri, dan keputusan-keputusan kita akan selalu mengubah dunia. Perjalanan kita adalah sejarah besar. Tetapi kekalahan akan membuat segalanya menjadi tidak penting dan sia-sia. Padam. Maka, apabila kalah, maka perjuangkanlah. Dan kalau lupa, maka ingatlah.


Diadaptasi dari Metro-Spiritualitas

Karya: K. Muhammad Sahli Hamid

RECENT POSTS