,

Iklan

Iklan

Negara Pasal - Pasal

SerikatNasional
30 Jun 2022, 00:41 WIB Last Updated 2022-06-29T17:41:05Z

Opini - Tulisan ini merupakan kilas balik tentang sejauh mana kita hidup dan menjalankan Negara sebagai Negara Hukum sebagaimana telah dimuat dan diatur dalam konstitusi negara. 


Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Oleh sebab itu, konsekuensi dasarnya adalah setiap warga negara, tidak terkecuali penguasa, harus patuh dan tunduk terhadap hukum yang berlaku di Indonesia (Ius Constitutum).


Posisi tertinggi bagi hukum inilah yang kita kenal dengan istilah Supremasi Hukum, hukum tampil sebagai panglima negara (Rechstaat) yang menjadi landasan untuk menjalankan negara bukan semata-mata kekuatan dominasi politik atau kekuasaan (Machstaat) yang menjadi dasar jalannya negara. Oleh karena itu tidak seorang pun dapat menempatkan diri di atas hukum "No one is above the law" bahkan presiden sekalipun tidak dapat menempatkan dirinya diatas hukum, dia harus berjalan dibawah panduan hukum. 


Hukum menjadi suatu perangkat khas yang dimiliki oleh negara moderen manapun di dunia ini, demikian terjadi karena perkembangan pola kehidupan masyarakat yang serba tradisional menjadi lebih rasional dengan lahirnya ilmu-ilmu moderen, maka tidak heran jika corak hukum moderen lebih logis karena segala sudut pandangnya adalah dengan prinsip rasionalitas. 


Namun belakangan, makna hukum terjun bebas dalam satu pemaknaan yang kaku yaitu undang-undang, masyarakat dan para penegak hukum kebanyakan terjebak dalam skema-skema positifistik, yang memangkas makna hukum hanya dalam arti undang-undang saja. Ini merupakan aib yang sangat melukai bagi kita, bagaimana mungkin kita menjalankan Negara hanya dengan panduan undang-undang sementara para pendiri bangsa kita menginginkan negara ini berjalan dengan panduan hukum secara luas. 


Hukum dan undang-undang merupakan hal yang berbeda, rumusannya jelas dalam konstitusi bahwa Indonesia merupakan negara hukum, sekali lagi Negara Hukum bukan negara undang-undang.


Kalau kita terlalu rigid dalam memaknai hukum hanya sebagai undang-undang, maka ujungnya adalah keadilan prosedural bukan keadilan sosial yang kita dapatkan, demikian terjadi karena para penegak hukum akhirnya hanya akan didominasi oleh paradigma positivisme dengan corak formalitasnya yang kaku dalam menegakkan hukum ditambah lagi dengan birokrasi yang super alot dan bertele-tele. 


Buktinya hari ini mimbar-mimbar pengadilan menjadi terisolasi dengan pengertian kepastian hukum saja, semua hanya digantungkan terhadap undang-undang (keadilan prosedural), tanpa membuka peluang untuk menggali nilai keadilan yang hidup di masyarakat (keadilan sosial). Maka tidak heran jika kita sering melihat bahwa ada orang yang jelas-jelas korupsi bisa dihukum dengan ringan bahkan bebas dari jeratan hukum, atau ada orang yang jelas-jelas miskin dan lapar lalu mencuri buah singkong divonis hukuman sangat berat, tentu saja menurut keadilan prosedural (Undang-undang) ini sudah sesuai, tetapi dalam sudut pandang keadilan sosial hal ini sangat jauh bertolak belakang. Padahal menurut Gustav Radbruch tujuan hukum bukan hanya kepastian, tapi Kemanfaatan, Kepastian, dan Keadilan.


Begitupun para law maker atau legal drafter kita hari ini, pada akhirnya hanya memanfaatkan undang-undang sebagai alat melindungi segenap kepentingan kekuasaan dan para kuasa modal, dengan demikian akhirnya hukum dibuat dengan pandangan subjektif dan tidak berdiri bersama basis sosial dimana harusnya hukum mendapatkan legitimasi dan kepercayaan, terjadinya distrust dan penolakan-penolakan adalah salah satu buktinya. 


Padahal dalam konteks negara moderen, hukum hanya akan berdaya guna bila memiliki kebenaran rasional yang dapat dipertanggung jawabkan berdasarkan prinsip logis-kritis (Faisal. Ilmu Hukum. Thafa media 2015) bukan hanya sebagai a collection of bealiefs atau seperangkat keyakinan yang digunakan sebagai alat pengendali tertib sosial. 


Prinsip positivisme sebenarnya sudah sering di kritik oleh pemikir-pemikir hukum dunia, misalnya yang getol mengkritisi positivisme adalah kelompok Critical Legal Studies, dan pemikir nasional salah satunya adalah Prof. Satjipto Rahardjo dengan konsep hukum progresif nya.


Akhirnya kita harus kembali terhadap rule yang telah dibuat oleh para pendiri bangsa kita, terhadap bintang pemandu (leitstar), cita hukum (Rechtsidee) atau Pancasila, serta konstitusi atau UUD NRI 1945 yang memantapkan bahwa negara kita adalah negara hukum bukan negara pasal-pasal, serta pintu terakhir dari segala cita-cita hukum kita adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 




Penulis:

Diyaul Hakki, S.H.

(Legal Consultant And Paralegal at Permata Law And Partners)

RECENT POSTS